Kita tentu akrab dengan istilah imunisasi, flashback di masa sekolah dasar dulu saat petugas kesehatan datang, kita (si bocil-bocil ini) semua kalang kabut berlarian ketakutan karena takut disuntik. Dulu, aku belum kenal dengan kata Imunisasi. Yang aku tahu, petugas kesehatan bilang
‘Habis disuntik nanti jadi makin kuat” – kata petugas kesehatan.
Nyatanya, besoknya aku demam.
Ketakutan dengan efek dari imunisasi ternyata mendarah daging, mungkin tidak hanya bagi diriku, bisa jadi bagi sebagian penduduk Indonesia lainnya di luar sana. Terlebih masa pandemi
Ketika tiba-tiba saja kebijakan Pemerintah untuk mewajibkan masyarakat melakukan vaksinasi COVID-19, tanpa dibarengi dengan edukasi tentang pentingnya vaksinasi, atau mungkin sudah dilakukan tapi tidak menyeluruh dan tidak menyentuh semua lapisan masyarakat.
Beruntung bagiku yang kini bekerja dalam bidang kesehatan banyak terpapar mengenai vaksinasi COVID, bahkan masuk dalam periode pertama vaksinasi pemerintah pada bulan Januari-Maret 2021.
Aku sadar betul bahwa profesiku dan keseharianku yang mengharuskan bertemu banyak orang menjadi salah faktor risiko terpapar COVID-19.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami manfaat vaksinasi COVID-19 ini secara sederhana. Pertama, dengan dilakukan vaksinasi tentu dapat membantu tubuh dalam merangsang sistem kekebalan tubuh. Kedua, mengurangi risiko terjadinya penularan COVID-19, selanjutnya, ketika kita tertular COVID-19 dampaknya tidak berat (mencegah kematian), dan yang paling penting adalah tercapainya herd immunity (imunitas kelompok) (Sumber : p2ptm.kemenkes.go.id)
Aku sengaja mengambil jatah imunisasi pertama, di saat orang lain masih ragu dengan program vaksinasi. Bukan tanpa tujuan, tapi keyakinanku untuk menjadi contoh bagi masyarakat dan keluargaku khususnya adalah cara terbaik untuk memberikan edukasi pentingnya vaksinasi.
Sebagai seorang anak yang tinggal jauh dari orangtua, tentu sangat sulit untuk mengontrol aktifitas keseharian orang tua di rumah. Bapakku orang yang cukup aktif di masyarakat dengan kehidupan bersosial tidak bisa dihindari. Aku masih ingat ketika Bapak menolak untuk memakai masker untuk proteksi diri
“Enggak ah, panas. Malu sama yang lain, gak ada yang pakai masker kok” begitu kata Bapak.
Lain halnya dengan Ibu justru mudah terpengaruh hoax yang beredar di internet. Alih-alih takut terpapar COVID-19, Ibu justru lebih takut dengan efek vaksinasi yang bisa menyebabkan demam berkepanjangan. Bapak dan Ibuku adalah kelompok rentan, karena memasuki usia lansia dan Bapak sendiri termasuk dalam kategori Komorbid.
Tentu, menjadi PR besar buatku untuk mengedukasi Bapak dan Ibu tanpa merasa ‘terpaksa’ supaya Bapak dan Ibu mengajak komunitasnya untuk segera vaksinasi juga. Ketakutan, rasa tidak percaya dan cenderung meremehkan adalah hal yang lumrah di masyarakat. Terlebih keberadaan virus COVID-19 ini tidak terlihat dan sangat sulit dipantau penyebarannya.
Masyarakat awam memang cenderung skeptis, bahkan sekalipun terjadi di depan mata sendiri bahwa ada kerabat yang tertular COVID-19.
“Di-COVID-in tuh”
Sangat ironi, tapi kita berbicara kenyataan.
Upaya pengendalian COVID-19 berbarengan dengan sosialiasi imunisasi COVID19, mulai dengan tracking penderita COVID-19, layanan Rapid Test, Isolasi mandiri, penerapan protokol kesehatan di berbagai tempat, aturan WFH dan WFO bagi para pekerja, hingga belajar dari rumah bagi kalangan pelajar.
Perlahan namun penuh kepastian, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bekerja sama dengan berbagai lini dan instansi terkait, gencar memberikan edukasi imunisasi bagi masyarakat awan. Salah satu strategi yang menurutku memang maksimal adala dengan menggandeng tokoh masyarakat termasuk Bapakku untuk menjadi pioner dan contoh kalangan lansia untuk segera mendapatkan vaksinasi.
Sempat ragu dengan efek yang ditimbulkan, namun dengan pengetahuan vaksinasi yang mencukupi Bapak akhirnya mau untuk divaksinasi COVID-19. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang membanggakan karena Bapak bisa menjadi panutan di komunitasnya tentang pentingnya vaksinasi.
Hal serupa juga aku sampaikan ke Ibuku, akupun menjelaskan bahwa pemberian vaksin COVID-19 sama halnya dengan vaksin lainnya di saat kita masih kecil dan juga seperti vaksin perjalanan ibadah yang dulu Bapak dan Ibu lakukan. Acapkali Ibu membagikan tautan dari grup whataspp-nya tentang bahaya vaksinasi, dan aku dengan sabar menjelaskan dan mengklarifikasi dari referensi yang aku peroleh dari Kementerian kesehatan. Ibu yang awalnya ragu, akhirnya mau untuk divaksinasi dan menjadi contoh lansia di lingkungan sekolahnya.
Pemberian edukasi juga tidak hanya aku berikan ke keluarga, media sosial juga menjadi caraku mengenalkan betapa vaksinasi menjadi faktor penting dalam pengendalian kasus COVID-19. Yah menurut orang mungkin berlebihan, tapi bagiku menyelamatkan banyak nyawa tidak harus terjun ke lapangan, tapi bisa berkontribusi dengan cara berbeda.
Menurutku, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sudah melakukan pendekatan yang tepat. Walau mungkin di awal terkesan ‘memaksa’ namun hasil progresif dan proses vaksinasi ini akhirnya membuahkan hasil. Mengingat sudah dua tahun kita bergelut dengan COVID-19, sudah saatnya kita kembali ke kehidupan normal sebelumnya, baik dalam aspek ekonomi, sosial, pendidikan dan lain-lainnya.
Sesuai dengan Surat Edaran Kementerian Kesehatan mengenai Vaksinasi COVID-19 DOSIS LANJUTAN, saat ini pemerintah tengah genjar mengajak masyakat untuk melakukan vaksinasi booster. Vaksinasi booster adalah vaksinasi COVID-19 setelah seseorang mendapatkan vaksinasi primer dosis lengkap yang ditujukan untuk mempertahankan kekebalan serta memperpanjang perlindungan.
Pemberian vaksin ini dilakukan dengan dua mekanis pemberian, yaitu Homolog (menggunakan vaksinasi jenis yang sama dengan sebelumnya) dan Heterolog (menggunakan jenis yang berbeda dengan vaksin primer sebelumnya). Keduanya tetap memberikan efek perlindungan jangka panjang yang tentu saja sangat bermanfaat bagi diri kita.
Tentu, PR lainnya juga harus kita hadapi ketika vaksinasi sudah dilakukan namun mengapa harus dilakukan berulang. Masyarakat awam juga cenderung menolak karena beberapa efek yang ditimbulkan seperti demam, mual, dan sakit di bagian yang disuntik. Sehingga menolak untuk melakukan vaksin booster. Tidak heran jika kita temui di lapangan, masih banyak masyarakat yang enggan untuk ke Faskes sehingga jarak vaksinasi antar vaksin satu dan dua memilik rentan waktu yang cukup lama. Padahal keberadaan vaksin booster (vaksin lengkap 3 dosis) ini membantu mempertahankan imunitas yang telah dimiliki.
Strategi sudah mulai dijalankan pemerintah dengan memberikan kemudahan bagi penerima vaksin booster dan mengajak masyakarat untuk segera vaksin booster. Seperti syarat penerbangan dan memasuki fasilitas umum dan kemudahan lainnya. Hal ini merupakan upaya pencapaian target vaksinasi nasional Pemerintah Indonesia dalam penanggulanan COVID-19.
Perjuangan masih belum usai, kontribusi aktif kita menyosialisasikan pentingnya vaksinasi harus lebih sering dan lebih gencar dilakukan hingga sesuai dengan target yang ditetapkan Pemerintah. Bukan hal yang mustahil untuk kita kembali ke kehidupan normal sedia kala, pemerintah telah berupaya maskimal dalam strategi dan pelaksanakannya, sudah saatnya kita bekerja sama dan kooperatif dalam menyukseskan program Pemerintah ini mulai dari lingkungan sendiri, mulai dari keluarga kita sendiri, mulai dari diri sendiri.
Untuk sehat kini, dan nanti, bersama kita Imunisasi.
Salam Imunisasi! Salam Sehat, Indonesia Sehat!