Pilihan untuk menikah dan tidak menikah sepertinya bukan hanya menjadi urusan personal kaum milenial sekarang. Tapi bisa jadi urusan sejuta umat, terutama kaum boomers. Iya dong !! milenial berada di posisi tengah, generasi Z masih bocil (bocah cilik) dan senior kita adalah kaum boomers.

Gap generation yang lumayan jauh ini memunculkan perspektif dan indikasi bahwa segala urusan duniawi yang berkaitan dengan hidup orang lain harus dibawah kendali para boomers. Salah satunya tentang Jodoh.

Gak bisa disalahkan memang, memorial ‘s trauma mereka yang secara tidak langsung membentuk pribadi tersebut. Misal-

” belum menikah di atas umur 25 tahun dianggap perawan tua”

“belum punya anak di usia perkawinan awal dianggap mandul”

dan doktrinan yang ‘mungkin’ dulu dialami para boomers, mencoba untuk dipraktekkan pada kita si kaum millenials. Ikatan tersebut makin kuat terlebih kaum millenials tidak seluruhnya independent dalam mengurus perihal kehidupan, bahkan finansialpun masih sangat tergantung dengan boomers, sehingga tidak ada pilihan lain, selain mengikuti ‘pilihan’ orang tua.

Budaya kita sangat patuh dengan istilah ‘nurut kata orang tua‘ -‘percaya deh pilihan orang tua yang terbaik’– ditambah lagi bumbu agama yang membuatnya makin sedap.

Tapi pernah bertanya sama diri sendiri maunya seperti apa?

Sifat ini juga mendaging bagi mereka yang ‘merasa’ hidupnya lebih baik, setelah mengikuti perkataan ‘orangtua’ dan mencoba mengkomparasi dengan kehidupan rekan sejawatnya yang tidak/belum seperti dirinya. Indikator kesuksesan dan kehidupan seolah berpusat pada dia yang ‘hampir’ memiliki semuanya. Padahal, siapa sih yang bisa mendefinisikan bahagia? – katanya bahagia itu sederhana?

Posisi gue adalah posisi sasaran empuk para netizen kaum boomers dan kaum millenials yang merasa sempurna. Instead of joking (modusnya), tapi sebenarnya ngeroasting supaya menjadi bahan candaan yang sebenarnya gak ada yang lucu.

Nasib baik gue gak pernah draging urusan pribadi orang untuk menjadi bahan candaan. Kita paham manners kan yah. Kalau mau membalas rasanya pasti terdiam semuanya.

Gue percaya, seseorang memilih jalan hidup tertentu yang ‘mungkin’ tidak sama dengan kebanyakan orang bukan suatu kegagalan. Justru itu adalah langkah besar yang memang sepatutnya kita lakukan dalam kehidupan kita, minimal sekali seumur hidup. Dan sayangnya orang-orang lebih senang hidup secara general, sampai lupa apakah dia pernah mengambil langkah besar dalam hidupnya.

Oke, balik ke masalah perspektif boomers.

Anggaplah gue sebagai suspectnya, dimana ‘kayaknya’ yang terlihat gue tidak membutuhkan apa-apa lagi. Karir yang mapan, tempat tinggal yang cukup, dan sebagainya. Im happy with that, sampai akhirnya ada cletukan

“sayang yah, belum menikah”

like whaaat ???!!

Hidup sehat dan kondisi baik, aman dan tercukupi itu bukan suatu yang perlu disyukuri apa? kesusahpayahan kita mencapai titik ini sekarang bukan sesuatu yang perlu dirayakan apa? masih ada aja yang kurang.

Belum habis sampai disitu, moment jodoh menjodohkan seperti permainan yang kayaknya adu coba-cobaan. ” Cobain aja siapa tahu cocok” – tanpa pernah bertanya

” lo siap untuk jalin relationship lagi?”

“Siap gak hidup berkomitmen?” yang artinya mengabaikan hak-hak pribadi untuk bisa memenuhi kewajiban yang memang harus dipenuhi, seumur hidup.

Lebih parahnya lagi.

“nikah gih sama dia, dia bawa mobil XXX (menyebutkan nama mobil mewah) nti rumah lu isinya mobil dia, gak susah-susah beli kendaraan”

OMG. disitu rasanya gue pengen tepok jidad para boomers ini.

Siapa yang salah? gak tahu hahaha

Mindset kita dari awal sudah sangat berbeda, bukan untuk diperbaiki namun lebih banyak dimaklumi. Biasanya gue jawab senyum saja. Kehidupan mereka hanya berpusat pada hal itu-itu saja, sabtu minggu kondangan sehingga terbentuk hal-hal klise setelah menikah pasti happy-an so on.

Bersyukur bagi kita yang diberi kesempatan untuk bertemu berbagai tipe manusia. Yang memilih untuk single sepanjang umurnya, yang memilih childfree, yang memilih untuk FWB dan berbagai macam cara yang membuat mereka merasa ‘tercukup’ lahir dan batin. Selama tidak merugikan orang lain, go a head ! Bukan hanya karena tidak seperti boomers bayangkan , mereka semua menjadi salah. Wah, itu bisa bahaya banget sih.

Sampai di titik sekarang, gue masih pengen menikmati hasil kerja keras gue. Sambil mempersiapkan kemana tangan gue menyambut seseorang nantinya. Atau justru kaki gue yang pengen melangkah lebih jauh lagi.

Memberikan harapan kosong its not my thing. Tidak/iya sekalian adalah jawaban.

Perspektif orang-orang yang bilang bahwa hidup after married adalah kebahagiaan, hanyalah glorifikasi yang semu. Tak pernah diceritakan bagaimana rumitnya pikiran ketika kau bertengkar dan harus tidur satu kasur dengan orang yang sama. Gak punya uang tapi perut harus diisi berdua, Belum lagi masalah kecil lainnya yang bisa saja membesar kapan saja.

Tidak, tidak akan pernah mereka bercerita tentang itu.

So, yah. Being unmarried selalu nampak jelek di mata orang yang tidak sesuai, tapi percalah justru kita mampu mengglorifikasi kenikmatan yang tidak perlu dijelaskan kepada mereka yang sudah memilih jalan hidupnya. Malah banyak loh yang menginginkan hidup seperti kita. Tentu semua ada sisi baik dan buruknya.

Suatu hari nanti pasti kita akan menjadi para boomers juga, mencoba mengendalikan hidup orang lain supaya ‘sesuai’ dengan perspektif kita. Memang pengalaman hidup mengajarkan kita banyak hal, but let millenials feel thats experience too. Tanpa harus menggurui tanpa diminta, menasehati tanpa dimau.

Jatuh, bangun, jatuh lagi, kemudian sakit dan mampu bangkit adalah tahap yang memang harus dilewati. Dan biarkan untuk dinikmati.

Semoga kita selalu diberkahi yah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *