Satu bulan terakhir menjadi awal langkah yang baru untuk gue (secara pribadi). Setelah adegan spontan di bulan September-Oktober 2020 dengan membeli hunian KPR. Per awal Juni 2021 gue resmi menempati hunian ini dengan layak. Alhamdullilah
Kenapa gue bilang dengan layak? karena awalnya dengan berbagai pertimbangan gue tidak mau menghuni rumah tersebut. Mostly karena masalah teknis yang menyebabkan gue anti untuk mulai menempatinya karena konstruksi yang masih jauh dari standar. Belum lagi lingkungan yang masih belum bertumbuh, masalah keamanan dan berbagai hal lain.
Kurang lebih gambaran awalnya seperti ini:
Gue masih ingat betapa happy-nya perasaan ini waktu itu. Bukan lebih ke arah pamer gue udah beli rumah (lah apa yang mau dipamerin, orang rumahnya kecil juga), tapi lebih ke bangga ke diri sendiri. I can do much things with my self. Se-terharu itu karena memang effortnya bukan kaleng-kaleng. Terlebih masalah finansial.
Membeli rumah dengan sistem KPR adaah komitmen separuh hidup. Dengan sadar diri kita menjadikan hidup kita budak finansial dengan cicilan bulanan . Dulu gue penganut anti ngutang, anti mencicil dan anti-anti lainnya baru sadar adult life really damn hard men. Tapi itulah yang menyebabkan lo cepat bertumbuh dan semakin kuat.
Yah, walaupun tetap ada sih ‘Seandainya gue bekerja lebih keras waktu mudaan, mungkin uang gue bakal lebih banyak atau bisa banget bangun rumah lebih besar’ but overall gue mensyukuri apa yang gue miliki sekarang.
Motivasi memiliki rumah tidak pernah muncul di pemikiran gue di awal-awal kepindahan di Lombok. Bagi gue, memiliki hunian hanya membuatmu menjadi ‘terikat’ di tempat ini untuk jangka waktu yang lama. I spent my money to another asset seperti membeli sawah, emas, dan instrumen investasi lain yang gue pelajari tiga tahun terakhir. (ini bukan nyombong yah; ini hanya pilihan investasi saja). Tapi gue lupa bahwa basic things yang dibutuhkan manusia itu cuma tiga hal : Sandang-Pangan-Papan.
Selama ini gue hidup dengan ngekost/kontrak sebuah kamar dengan jarak 2 menit ke kantor. Menurut gue ini sangat efektif untuk mengakomodir apapun termasuk kehidupan gue sehari-hari. Dengan biaya tinggal 950 ribu/bulan include semuanya. Menurut orang lain itu mahal, bagi gue itu sesuai dengan apa yang gue dapatkan. Bahkan anehnya gue bisa menabung lebih banyak. Jiwa ingin pindah rumah ini justru muncul di masa pandemi, ketika gue tidak melihat benefisial hidup di kosan dengan mobilitas yang terbatas dan juga kesehatan mental gue. Dan satu lagi, gue butuh tantangan. Aneh yah haha
Perasaan takut terjebak di zona nyaman, yang nyaman banget itu membawa gue untuk mengambil langkah lainnya yaitu mengambil rumah.. Dengan pertimbangan, seberapa besar responsibility gue dengan langkah yang gue ambil, seberapa besar gue bisa bertumbuh nantinya dan sebagainya. Orang mengira ini masalah finansial “Sayang uangnya, daripada untuk orang lain”. NO CAP !!! Its more than that.
Karena sesungguhnya memiliki hunian make you spend lot money. Mulai dari renovasi, perawatan, hingga membeli perlengkapan rumah. Gue melatih managemen finansial gue, mindfullness (alah), untuk hidup minimalist seperti yang sedang gue usahakan. Hahaha (Kenyataannya susah banget). Termasuk displin diri. Walaupun ini bukan kali pertama gue mengurusi rumah. Tapi namanya belajar yah, gpp.
I started my home story in my IG Story, sempet terpikir untuk menutupnya rapat-rapat. Bagi sebagian orang rumah adalah tempat yang paling privasi, jangan sampai orang tahu ‘dapur’ kita ibaratnya, but gue pengen membangun koneksi secara personal dengan orang-orang bahwa ‘ini loh’ yang bisa diupayakan. Ini loh yang harus dilakukan dan banyak lagi. Gue lebih suka membaginya dengan banyak orang untuk melihat perspektif dari orang lain yang bisa jadi gue gak lihat. Tentu saja gue juga membatasi privasi supaya tidak terkesan oversharing. Selain itu juga #Homestory promosi di awal sewaktu-waktu gue harus mutasi (amin) sehingga cukup presentatif kalau mau di jual lagi nantinya (baru beli oi udah mau di jual lagi).
Selama ini kemampuan survival basic life tidak pernah diajarkan semasa gue hidup. Emak Bapak gue pun tidak mengajarkan (kalau tidak gue tanya). Sesusah itu hidup menjadi dewasa karena usia dan keadaan (sedih yah haha). #Homestory ini gue juga tuliskan di blog sebagai reminder bahwa ada masa masa menyenangkan yang bisa kita flashback ulang.
Kita lihat catatan ini akan sampai mana yah? hehe
Mungkin ada ide gue harus mulai darimana dulu?