Pernah denger istilah silent treatment?

Sama. Gue juga belum pernah. Tapi apakah pernah kita melakukan silent treatment?

Bisa jadi, iya.

Awalnya gue gak terlalu paham apa itu silent treatment, tapi setelah mengerti makna ini gue jadi paham bahwa gue (jujur aja) pernah menjadi pelaku dan korban dari silent treatment.

Menurut kanal Youtube Analisa (bisa kamu check di sini). Tindakan silent treatment lebih parah dibandingkan ngeghosting. Padahal menurut gue keduanya sama-sama ‘ilang’. Bedanya, ghosting rasanya kalau orang menghilang dengan sendirinya kayak ‘yaudah lah yah, mungkin Alam tengah menyeleksi umatnya, dengan memilih mana yang dekat mana yang akan dijauhkan“. But silent treatment more than that.

Silent treatment menyebabkan seseorang tidak serta merta menghilang dari kehidupan kita, secara visual (mungkin) masih kita lihat, masih kita pantau, dan masih bisa kita amati. Tapi secara ‘in touch’ tidak kita dapatkan lagi.

Pernah sadar kenapa couple yang dulu erat, tiba-tiba saling diam untuk sesuatu yang sebenarnya pengen diungkapkan tapi tidak terlampiaskan?. Bagi seseorang, menunda suatu permasalahan dengan melakukan silent treatment, menurutnya adalah sesuatu yang baik (saat itu), tapi treatment yang terlalu panjang hanya menyebabkan masalah yang tidak pernah terselesaikan.

Akibatnya apa? tentu saja kita akan merasa tidak nyaman, menjadi sangat sensitif jika namanya disebut, selalu teringat jelek-jeleknya aja saat orangnya mulai terlihat di permukaan. Karena memang pada dasarnya, kita paham bahwa masalah itu ada, tapi kita tidak ada daya dan upaya untuk mengawalinya dan mencoba menyelesaikannya. Bahkan tidak tahu bagaimana caranya.

Gue akui, memang gue pernah menjadi pelaku silent treatment, mungkin selama beberapa bulan (gue lupa persisnya) bahkan untuk permasalahan yang gue sendiri gak paham pointnnya ada dimana. Saat itu rasanya, ada kesalahan yang dilakukan berulang oleh partner gue, dan gue merasa lelah untuk merespon kembali, malas untuk drama yang berkepanjangan, dan akhirnya gue memilih untuk diam seribu bahasa.

Yah kalau mau membela diri waktu itu sih gue akan jawab “kalau gue udah gak cerewet lagi, gak komentarin hidup lo lagi, artinya gue udah di titik akhir, dan gue gak peduli”. Padahal itu hanya alasan gue untuk melakukan silent treatment sesuka hati gue aja. dan gue terlalu cemen untuk mengakui bahwa gue tidak tertarik lagi.

Segala bentuk komunikasi gak gue respon, sosial media tetap aktif tapi tidak ada yang gue jawab sampai akhirnya komunikasi itu hilang dengan sendirinya. Yah, mungkin kita sama-sama lelah waktu itu. Tapi setelah gue ingat-ingat bukan seperti itu cara menyelesaikan masalah. Kita didesain untuk mengomunikasikan apapun yang kita rasa. Yah, sekaang sih kalau gue lebih baik sakit-sakitnya aja diutarain daripada mendem ketidakpastian.

Tapi manusia terus berproses kali yah. Gue juga menjadi begini karena udah kenyang dengan namanya silent treatment. Sumpah, menjadi korban silent treatment adalah hal yang paling tidak menyenangkan. Bingungkan lo tiba-tiba didiemin orang untuk hal yang lo aja belum paham poinnya ada dimana. Kita bukan dewa men !, yang cuma lihat jidadnya aja kita bisa tahu isi kepalanya.

Orang yang melakukan silent treatment berekspektasi kita bakal berbuat sesuai kemauan dia. Atau berharap korbannya sadar sudah melakukan kesalahan ‘fatal’. Walaupun keseringan tidak tercapai juga sehingga silent treatment berjalan lebih lama. Belum lagi ‘malas’ drama sehingga menurutnya tidak membahas adalah cara yang tepat.

Silent treatment such a toxic. Silent treatment hanya membuang waktu dan pikiran gak jelas yangs elalu beredar di kepala lo dan diputar berulang-ulang.

Di sisi lain, si korban juga merasa dia pantas diperlakukan seperti itu dan tidak mencoba untuk mengkonfirmasinya. Hal menarik lainnya, kebiasaan melakukan silent treatment ini bisa jadi bakal di bawa di kehidupan mereka lainnya, entah itu karir, percintaan, bahkan keluarga.

Gak jarang loh dalam satu keluarga ini kakak beradik tidak saling sapa walau satu rumah. Atau kehidupan bertetangga yang tidak saling tegur padahal permasalahan bisa jadi sangat sepele.

Gue tidak membenarkan orang lain memperlakukan silent treatment ke gue lagi apapun bentuknya. Dan gue sebisa mungkin tidak akan melakukan hal yang sama lagi. Berada di lingkungan silent treatment hanya memengaruhi emosional dan mental secara terus menerus dan menguras banyak energi. Mencoba mengutarakan apa yang dirasa, mencoba menerima kenyataan, membiasakan menerima hal-hal buruk bisa saja terjadi dalam keseharian kita adalah cara tepat dibandingkan melakukan silent treatment. Permudah hidup kita dengan tansparansi dan kejujuran, ceunah. Cari duit udah susah, jangan ada drama lagi antara kita dengan manusia-manusia lainnya.

Jadi coba deh ingat-ingat, kamu sudah melakukan silent treatment ke siapa dan apa masalah sebenarnya? atau jangan-jangan kamu adalah korbannya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *