Kalau dari judulnya pasti tahu dong maksudnya vaksin yang mana.
Bener, vaksin COVID-19 yang sedang diomongin seluruh manusia di muka bumi ini. Setelah berjibaku hampir setahun penuh, akhirnya salah satu upaya pencegahan persebaran yang paling efektif ini hadir juga.
Tapi di sini gue gak akan ngebahas betapa rumitnya pervaksinan ini, tapi lebih ke “how i feel as a vaccinated person”. Jujur, gue bener-bener berharap proses vaksinasi ini dapat segera selesai. Karena tentu saja benefisialnya jauh lebih banyak ketimbang kondisi sekarang. Gue adalah orang yang pro-vaksin, sedikit banyak gue terlibat dengan keilmuan imunologi sejak dulu dan tahun lalu sempat ambil penelitian vaksinasi rabies, paling tidak gue tahu bagaimana proses vaksinasi ini bekerja.
Gembar gembor berita vaksinasi sejak akhir tahun 2020, vaksinasi ini menjadi harapan bagi jutaan manusia. Di Indonesia sendiri tertarget sekitar 180 jutaan orang tervaksinasi, dan sampai sekarang baru 1 jutaan orang yang tervaksinasi.
Gue bersyukur banget menjadi salah satu orang tertarget vaksinasi Tahap Pertama, dan gue gak ekspektasi mendapatkan kesempatan itu. Kenapa gue bilang kesempatan? karena dari sekian banyak orang yang ‘mungkin’ terdaftar gue termasuk bagian awal. Gue sempat bingung, ketika pertama kali vaksinasi dimulai di minggu-minggu pertama bulan Januari (kalau gak salah), setelah dicontohkan oleh Bapak Presiden dan gue termasuk kelompok pertama di instansi.
Apakah ini sebuah konspirasi? hahaha
Gue terdaftar vaksinasi di tanggal 18 Januari 2021, sayang waktu itu gue sedang cuti kerja dan harus keluar kota sehingga tidak memungkinkan untuk vaksinasi di hari itu juga. Sempat terpikir untuk “kayaknya gak perlu dulu, deh”. Kuatir dengan side effect dan lain sebagainya. Alasan dengan bayangan yang sebenarnya tidak beralasan dan berusaha mencari pembenaran. Alasan yang serupa dengan ribuan orang lainnya yang skeptis dengan kemampuan vaksin ini.
Namun selama perjalanan keluar kota, gue terpikir alahkah rumitnya jika terus seperti ini, Sampai akhirnya gue memutuskan untuk mengambil vaksinasi pertama gue tepat di minggu pertama bulan Februari 2021.
Hal menyebalkan lainnya kenapa gue memutuskan untuk segera vaksinasi adalah kondisi dimana gue lelah sekali untuk melakukan SWAB TEST. Walau hanya pemeriksaan antigen, perasaan tidak nyaman karena hidung yang selalu diobok-obok ingin sekali gue sudahi. Belum lagi biaya yang cukup besar dalam sekali test. Dengan kisaran 250 ribu untuk sekali test.
Hampir seharga tiket pulang pergi Lampung-Lombok kalau terus-terusan di lakukan (alasan finansial hahaha). Dan itu gak salah kan (jujur juga). Tapi di luar dari itu semua, rasanya agak kurang etis jika memang sudah diberi kesempatan vaksinasi, tapi gue gak gunakan. Sedangkan ribuan orang lainnya, pengen banget divaksinasi karena berbagai faktor, terutama kesehatan dan keselamatan jiwa.
Awalnya gue juga merasa agak sedikit bersalah, karena bagaimanapun gue bukan bagian dari frontliner, sedangkan gue bekerja di bidang penunjang kesehatan. Yah walaupun secara teknis gue memang bersentuhan dengan banyak orang dan berinteraksi dengan banyak orang di lapangan. Tapi memang pada akhirnya semua orang akan tervaksinasi, dan hanya menunggu timing sesuai dengan anjuran pemerintah.
Pengalaman pertama divaksinasi sebenarnya biasa saja, cuma karena mungkin gue sedikit excited sampai-sampai tekanan darah gue sempat tinggi karena nevous. Prosesnya berjalan lancar dan cepat, dengan adanya skrining sebelum penyuntikan dan observasi setelah vaksinasi. Semua dilakukan untuk memastikan semua penerima vaksin baik-baik saja.
After effect setelah vaksinasi ini lah yang sebenarnya dikuatirkan oleh banyak orang. Gue juga sih (waktu itu), reaksi pertama yang gue rasakan adalah pegal-pegal di area penyuntikan. which is normal karena memang itu bagian yang diinjeksi, suhu badan gue nomal, gue merasa sedikit mudah lelah dan tidak bersemangat aja tapi dibawa tidur aja semalaman esoknya gue udah fresh lagi.
Proses vaksinasi pertama ini adalah proses pengenalan antigen virus dengan tubuh kita. Sederhanannya, vaksin yang disuntikkan mengandung substasi virus yang telah dilemahkan atau mati sehingga tubuh secara alami akan membentuk antibodi untuk mengenalinya sebagai benda asing. Tahap ini penting sehingga reaksi yang muncul di tiap-tiap orang akan berbeda-beda tergantung sistem tubuhnya. Perasaan kurang nyaman yang mungkin muncul setelah vaksinasi menandakan bahwa vaksin tersebut bekerja, jadi tidak perlu dikuatirkan.
Dua minggu berikutnya, tepatnya tanggal 15 Februari 2021, gue melaksanakan vaksinasi booster (vaksinasi ke-2) dengan rentang 2 minggu dari jadwal vaksinasi sebelumnya. Vaksinasi ini tidak kalah pentingnya untuk meningkatkan titer antibodi yang telah terbentuk dari vaksinasi pertama. Makanya dalam vaksinasi kedua ini, usahakan untuk tidak terlambat apalagi tidak datang. Bisa-bisa vaksinasi pertama gagal karena tubuh tidak cukup membentuk antibodi.
Vaksinasi kedua berjalan lancar, tidak ada perasaan nervous namun gue tetap excited untuk menyelesaikan semua tahapan vaksinasi. Tapi, pengalaman berbeda lainnya gue rasakan setelah vaksinasi kedua. Perasaan tidak nyaman tetap gue rasakan di awal penyuntikan. Di hari pertama gue masih fine-fine saja, tapi di hari kedua gue merasa deman di malam hari dan sakit kepala yang tidak kunjung berakhir (sampai cerita ini gue tuliskan gue masih merasakan sakit kepala-terutama dibagian belakang). Jadi rasa ambigu ini efek vaksinasi atau memang gue merasa kelelahan saja.
Setelah proses vaksinasi gue memang mengambil banyak waktu istirahat di siang dan malam hari. Tapi perasaan tidak bersemangat masih ada (curiga memang gue-nya aja yang merasa malas nih haha). Tapi gue harap vaksin ini dapat bekerja dengan baik di tubuh gue dan kooperatif dengan membentuk antibodi yang cukup untuk melawan COVID-19.
Setelah vaksinasi kedua, gue tetap dianjurkan untuk melakukan Prokes. Dengan senang hati dan gue sudah cukup nyaman sih untuk melakukan itu. Karena proses terbentuknya antibodi ini membutuhkan waktu, jadi perhatikan kondisi kesehatan pribadi seperti biasanya.
Tugas gue berikutnya adalah (secara tidak langsung) adalah mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya vaksinasi. Jika vaksinasi tidak menuntut prioritas, rasanya gue ingin membawa Bapak dan Ibu gue untuk segera di vaksinasi. Karena dalam satu keluarga, hanya gue dan kakak perempuan gue saja yang divaksinasi berdasarkan prioritas, gue harap anggota keluarga lainnya segera menyusul.
Gue juga masih heran dengan pemikiran skeptis orang-orang yang sudah terdaftar tapi tetap tidak mau vaksinasi. Dengan alasan yang gak ilmiah. apalagi kalau berhubungan dengan konspirasi. Mereka hanya meyakini apa yang mereka yakini dan berusaha meyakinkan orang lain apa yang mereka yakini. Ironisnya , hal ini malah datang dari orang-orang yang menurut gue well educated. Pemerintah berupaya untuk mengatasi semua ke chaos-an ini, kalau gak punya bukti ilmiah dari para profesional rasanya gak pantes kalau kita asbun (asal bunyi) dan berkoar-koar kalau vaksinasi kurang ini dan kurang itu.
People trying so hard untuk keluar dari pandemi ini, sudah terlalu banyak kerugian yang diakibatkan pandemi dan elu-elu yang gak setuju vaksinasi gak punya solusi dan bisa-bisanya hanya ngeribetin pemerintah. Bilang ekonomi lumpuh, orang susah semakin banyak, yah that’ s true, tapi kalau kita gak mengatasi problem utamanya gimana masalah lain yang sudah terlanjur melebar ini bisa teratasi?
Hadeh, jadi ngegas kan gue.
Semoga apa yang kita harapkan dari vaksinasi ini dapat segera terwujud. Gue gak mengharapkan hidup seperti sebelum pandemi, tapi gue mengharapkan hidup yang lebih baik di era new normal ini.
Kamu juga gak?