Sudah hampir satu bulan rasanya gue #WorkfromHome  seperti ini, terhitung mulai tanggal 18 Maret 2020 hingga sekarang masih #Dirumahaja akibat dari pandemi virus Covid-19 yang gak tau kapan berakhir.

Prediksi semua akan kembali normal dan kami dijadwalkan masuk kembali 29 Mei 2020 (tentu saja dengan pertimbangan), situasi ini memang sulit, tapi gue juga tidak memungkiri gue senang juga sistem bekerja dari rumah.

Tulisan ini bersifat pribadi yah dengan perspektif gue sendiri, kalau tidak sesuai tidak perlu diperpanjang.

Bagi sebagian orang #WorkfromHome adalah sebuah privilege, dimana perusahan atau tempat kamu bekerja cukup aware dengan kondisi saat ini dan mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat atau daerah. Tidak perlu merasa kuatir bulan depan masih mendapat gaji atau tidak, setidaknya ketika tidur kita tidak perlu kuatir esok hari mau makan apa. That is privilege!

Yah, walaupun masih banyak term & condition dengan banyak pemakluman juga sih, setidaknya WFH ini semacam doa gue yang dulu terkabulkan hahaha. Dulu, jaman-jaman kuliah dan awal kerja gue udah menerapkan WFH sih, semacam kerja darimana aja gitu karena sempat jadi  freelance  yang gak gak kenal istilah 8 to 5. Kerja tipikal ini memang jadi agak bias sih karena orang sampai gak tau gue ngapain aja dan ‘kok di rumah mulu’.

Awal masuk kerja normal seperti orang-orang kantor lainnya cukup menyiksa buat gue, gue yang terbiasa bekerja ‘in time’ butuh penyesuaian yang cukup panjang ketika jam 8 otak gue harus on untuk mulai bekerja. Sempet nih gue didera insomnia, sakit kepala berhari-hari, hingga perasaan moody sepanjang hari. Padahal kalau mau ditelaah lebih jauh lagi, produktifitas itu muncul  (mungkin) bagi sebagian orang yang kerja menembus waktu, biasanya justru di jam-jam yang tidak terduga loh.

Dulu, jam efektif gue adalah sekitar pukul 12 malam ke atas hingga pukul 4 pagi, di jam-jam orang istirahat, semua sedang tidur dan suasana tenang justru saat saat penting bagi gue untuk memaksimalkan kerjaan gue. Gak peduli sebanyak apapun tapi gue ngerasa cepat beres. Dengan konsekuensi pagi harinya mungin gue agak gak connected ketka diajak ngobrol karena frekuensi gue gak searah. Sekarang, wah boro-boro mau kerja  jam 12 ke atas, jam 10 an malam aja gue dah ngantuk banget kalau gak tidur siang. Kadang gue memang merindukan masa-masa seperti itu, dan work from home ini  jadi moment untuk mengulang masa-masa itu.

In positive way, work from home banyak enaknya sih, dan gue belum siap kalau kalau masa ini berakhir. Yang artinya gue harus siap bertemu dengan segala kerumitan setiap hari di jam 8-5.

Well, bersyukur tau ada pekerjaan “

Lah, kita manusia wajar kalau kita mengeluh, its not change anything. Semua akan sama saja. Gue sendiri menyadari kekuatan gue berada di saat gue menyendiri, tapi bukan berarti gue betah sendirian. Masih butuh keramaian untuk charge my energy lewat ngobrol-ngobrol bareng teman atau sekedar jalan-jalan.

In professional life, terutama di masa pandemic ini, gue merasa diribetkan dengan orang-orang yang banyak sok tahu dan orang-orang yang ‘show off’  betapa happy-nya orang bekerja dari rumah. Perkara sederhana jadi terasa rumit karena hal-hal non esensial yang harusnya bisa diselesaikan dengan baik.  Kalau ini sih gue mantau aja sih.

Pikiran ‘work from home’ mulai bergeser jadi ‘enak yah lo di rumah’ dibandingkan dengan sikap suporting ‘lo di rumah aja, mungkin bisa lebih produktif’. Padahal kita butuh banget memang di rumah aja di masa masa  seperti ini. JUstru dengan berada di rumah tingkat level stress kita jauh berkurang karena kondisi sekitar kita masih dalam kendali kita. Lain halnya ketika kita berada di luar rumah.

Bagi mereka yang sudah pernah atau terbiasa kerja dari rumah, kegiatan ini sebenarnnya sangat biasa aja.

Tapi kita gak bisa menutup mulut orang-orang sih yah, jadi biarin aja.

Work from home juga banyak diisi oleh kegabutan unfaedah yang justru menjurus ke wasting time yang gak ada ujungnya. Dalam satu waktu, kadang gue sangat termotivasi untuk mengerjakan ini itu di pagi hari hingga siang hari, tapi di hari berikutnya gue bisa benar-benar lost of motivation dan bener-bener memilih untuk doing nothing. Ini hal yang gak sehat sih, kita semacam lost of track dari apa yang harusnya kita kerjakan, dan sedihnya gue seperti mencari-cari alasan aja denga butuh pengaminan untuk banyak beristirahat terutama selepas mengerjakan pekerjaan yang lumayan berat.

Anggap aja misalnya gue habis tutoring 2 kelas dalam satu hari, biasanya di hari biasa masih bisa diselingi rapat atau mengerjakan hal lain di jam 8-5. Tapi selama masa kerja di rumah selepas tutoring kayaknya yaudah cukup gue mengerjakan hal itu hari ini. Nah, ini sih penyakitnya.

Negative side dari work from home juga efek psikologis yang justru ketat membebani, makanya pemerintah selalu menganjurkan untuk menyelingki kegiatan di rumah dengan berbagai hal dengan tetap tidak mengenyampingkan kegiatan utama. Work from home ibarat boomerang buat gue karena mau sampai jam berapapun at least gue harus terlihat responsif dengan membalas semua kerjaan. Padahal itu harusnya gak perlu gue lakukan sih. Alhasil jadinya gue harus bawa handphone kemana-mana.

Apakah gue bangga dengan kerjaan sok sibuk ketika di rumah ini?

Tentu saja tidak sama sekali.

(kalau bisa kerjaan di kantor yah di kantor aja, rumah yah di rumah aja).

Bagi para perantau jujur aja ini adalah situasi yang sulit. Belum lagi segala pembatasan pergerakan dan berbagai kendala yang menyertainya. Gue masih bertahan selama dua minggu sebelum memutuskan untuk pulang kampung work from home terasa berat, Karena selain timeline kerja yang berkurang drastis (even sebenarnya banyak pekerjaan yang di hold) rasa kesendirian makin terasa menyulitkan karena kurangnya interaksi dengan manusia lain. Memang benar, masih bisa video call or doing something virtual tapi gue ngerasa itu gak cukup. Gue masih butuh touch in other people makanya gue akhirnya memutuskan untuk pulang. Selain karena merasa lebih aman berada di rumah.

Anehnya, justru kadang perasaan pengen balik kerja di kantor kayak biasa malah menyeruak. Njirr..

Work from home mengajarkan gue untuk bisa mengontrol diri gue sendiri mau dibawa ke arah mana. Kadang kalau kelewat malas ada rasa bersalah yang akhirnya gue abaikan dan justru tetap mengkuti rasa malas itu. Kalau lagi rajin yah seperti ini, gue memenuhi berbagai target kerjaan gue yang harusnya gue bisa selesaikan dari jauh-jauh hari.

Gue menyesal sudah melewatkan banyak kelas-kelas online di luaran sana yang bisa upgrading skill, tapi kerja dari rumah kadang membuat agak bersalah juga karena quality time dengan keluarga sering diabaikan dan malah mengkuatirkan pekerjaan. Nah, bingung kan lo.

Sama gue juga.

Tulisan ini adalah bentuk kegelisahan selama  Kerja dari Rumah masa Pandemic Covid 19.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *