Gue pikir gue cukup paham dengan diri gue sendiri, kenyataanya gue gak sekenal itu ternyata.
Why?
Keadaan ini gue sadari setelah satu minggu kemarin gue melakukan tes kesehatan kejiwaaan (rohaniawan) untuk keperluan administrasi kegiatan. Yah, ini memang kali pertama gue tes kejiwaan. Gak ada persiapan, gak ada cari tahu tes kejiwaan itu seperti apa, dan bagaimana prosesnya karena memang gue pengen semua ngalir aja.
Dalam pikiran gue cuma gini “yah, paling semuanya normal-normal aja”.
I am really sure, normal in a good way. Sebenarnya sih gue agak kepo juga bagaimana keadaan kesehatan mental dan kejiwaan gue sekarang, terutama pasca pindah ke Lombok dan setelah gempa di Lombok.
Jadilah di hari menjelang siang nan terik, gue ikut tes kejiwaan ini di salah satu rumah sakit jiwa di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Gak kebayang sama sekali, ketika gue sampai di rumah sakit ini, ternyata rumah sakitnya dalam kondisi hancur parah. Setelah gempa kemarin, hampir 60 % fasiltas di rumah sakit ini hancur dan mayoritas pelayanan dipindahkan di bawah tenda-tenda darurat (sorry, gak akan gue tampilkan kondisinya gimana, nanti bisa menimbulkan trauma). Eh, tapi beneran darurat loh, banyaktenda yang dipasang dari Badan Penanggulangan Bencana gitu. Bahkan gedung utama yang notabene gedung baru sampai atapnya menganga lebar dan dindingnya gak ada yang utuh.
Oke, setelah melakukan registrasi (bayar sekitar 350 ribu), gue mulai melakukan tes kejiwaaan. Gue pikir akan langsung di interview, tapi ternyata harus melewati rangkaian tes yang terdiri dari Tes Tertulis dan Interview (Berasa gue mau ikut tes CPNS lagi).
Jangan bayangkan tes tertulis seperti tes psikologi atau ngerjain TPA ala-ala tes CPNS. Tapi disini kamu hanya diminta untuk menjawab soal-soal soal dengan referensi jawaban YA atau TIDAK doang. Yah, cuma dua itu aja. Pilih kondisi yang menggambarkan keadaan sekarang, dengan menjawab sesingkat-singkatnya, intinya gak usah kelamaan mikir, kata mbaknya.
Oke, mudah aja
Jadilah gue yang tanpa persiapan ini ambil tes tertulis, kebetulan hari itu gue tes bersamaan dengan Bapak-Bapak calon kepala desa yang buanyaaaaaak sekali. Sedihnya, kita tes dalam kondisi yang memprihatinkan. Bukan, bukan karena soalnya yang bikin pening karena berjumlah 600-an, tapi kondisi tempat tes kita yang rasanya ‘seadanya’.
Gue tes di bawah tenda terpal yang panas nan aduhai, dengan angin sepoi-sepoi menerbangkan debu-debu melewati tenda-tenda. Ditambah dengan suara cekakak cekikik pegawai rumah sakit yang gak kontrol lupa kalau di samping tendanya ada yang lagi ujian. Gak cuma itu aja, disamping tenda ada tukang yang sedang renovasi bangunan. Eh, masih ada lagi, sama si Bapak-Bapak calon kepala desa itu yang berisik ngomong terus ngejawabin soal. Hell yeah !
Apakah dikondisi tersebut gue bisa menjawab dengan optimal ? Tentu saja enggak. Tapi gue harus maklum karena kondisi darurat.
‘Ah, ini kan tes formalitas’ pikir gue gitu.
Gue hanya fokus menjawab 600-an soal itu dengan tempo secepat-cepatnya, walaupun ternyata gue gak bisa cepat karena kelamaan kasih arsir lembar jawaban dengan bulatan-bulatan pensil 2B (inget jaman SMA). Akhirnya tes berakhir 3 jam kemudian.
BYE.
Well, hasil tes tidak bisa diambil hari itu juga, tapi menunggu satu hari setelahnya karena harus dianalisis terlebih dahulu. Apabila data bisa diinterpretasikan, artinya gue bisa lanjut ke interview, kalau enggak, artinya gue harus ngulang lagi dengan mengisi soal yang sama, cuma beda susunanannya saja.
Dan esok harinya, gue dapat sms dari Rumah Sakit, kalau gue harus tes ulang karena data gue gak valid. SHIT!
Maka keesokan harinya, gue tes dengan kondisi yang sama, cuaca yang panas menyengat yang sama, bedanya cuma gue ngerjain di luar tenda, di bawah pohon yang rindang dan makin sepoi-sepoi. Tendanya lagi direnovasi juga ternyata. plus masih ditemani dengan rumpian bapak-bapak calon kepala desa yang ternyata pada ngulang juga.
Done, 3 jam lainnya berlalu.
I wish gak ada ujian susulan lagi, karena gue lelah mengerjakan soal segitu banyaknya, even jawabnya cuma YA atau TIDAK doang.
Keesokan harinya, gue diminta untuk datang lagi ke rumah sakit. Well, udah ke 3 kalinya nih gue meluangkan waktu. Tapi kali ini berbeda. Akhirnya gue mau diinterview sama dokter, terlebih dokter spesialis jiwa (gue berniat mau curhat ceritanya).
Setelah melakukan administrasi, akhirnya gak begitu lama gue sudah dihadapkan ke ruang konsultasi (masih dibawah tenda) dengan seorang ibu-ibu dokter kejiwaan, dia memegang hasil tes kejiwaan gue kemarin.
Mulailah dia meluncurkan berbagai pertanyaan-pertanyaan mengorek alam bawah sadar gue. Mulai dari waktu tes dalam keadaan sehat atau tidak, kerja dimana, asal darimana dan sebagainya. Gue jawab sejujur-jujurnya, termasuk kondisi tes yang tidak ‘layak’menurut gue, apalagi skala kejiwaan. (Lah gue malah komplain jadinya. )
Setelah itu mulailah sang dokter menggelitik pertanyaan ke arah yang lebih sensitif, well gue typically insecure untuk menjawab permasalahan pribadi dengan stranger, sekalipun itu dengan dokter. Ketika dokter tanya, gue jawab gak sepenuhnya (padahal harusnya gak boleh), awalnya bawaannya pengen curhat tapi katanya menjawab apa yang ditanyakan saja sudah cukup. Dari semua yang ditanyakan, rasanya apa yang gue jawab masih belum menunjukkan apa yang sebenarnya gue rasakan. Masih nanggung bin gantung. That is my bad habit, tapi gimana rasanya gak nyaman aja gitu. Lagian gue melakukan tes itu untuk tujuan lain, bukan pure konsultasi. Jadi rasanya aneh aja kalau gue malah terindikasi yang enggak-enggak.
Tapi . . . .
Hasil tes gak bisa bohong.
Gue gak tahu hasil tes itu cukup valid apa enggak, tapi lumayan mempengaruhi kondisi psikologis gue sekarang. Kenyataannya kondisi gue dibilang sama dokter dalam keadaan
“DEPRESI SEDANG”
WHAT THAAAAT MEAAAAAAAN????!!!!!
i dunno what’s depresi sedang refer to, yang gue pikirkan cuma “Gue di atas depresi ringan, sebentar lagi sampai di depresi berat dong??!”
waduh, padahal gue rasanya setiap hari biasa-biasa aja ternyata di dalam otak gue jauh disana ada masalah-masalah yang gak keluar. Yah, kata dokter sih wajar, setiap orang punya masalah, dan depresi sedang pun bukan sesuatu yang membahayakan atau mengkuatirkan.
Mendengarkan penjelasan dokter tersebut, gue agak lega sih. ternyata bukan sesuatu yang harus dikuatirkan, tapi tidak juga untuk diabaikan, then jadi ngerasa sama diri sendiri ternyata gue gak cukup kenal dengan diri sendiri. Bahkan gue tidak aware dengan mental health gue yang ternyata lagi sakit demam mungkin.
Hasil pemeriksaanya ada salah satu subjek yang bilang gini (seingat gue sih, karena gak boleh di foto hasilnya)
“Klien sedang mengkuatirkan sesuatu di masa depan, sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, sesuatu yang tidak ada’
Kurang lebih seperti itu. Then i ask my self,
what is actually happen with me !!!!!!
Gue rasa semua orang mempunyai kekuatiran yang sama, tapi dalam kasus gue kondisi ini mendominasi keadaan yang lain, dimana yang lainnya dirata-rata masih dalam kadar yang normal.
Kondisi lain yang super wow gue gak expect adalah kemampuan membangunan hubungan interpersonal gue yang excelent. Sisanya gue biasa-biasa aja ternyata hahaha #banggatapisedih
Yah, pulang dari rumah sakit perasaan gue malah jadi campur aduk.
Gue gak mau mikirin itu karena mengingat kemungkinan data itu tidak valid, tapi kenyataannya apa yang diceritakan oleh dokter tadi mayoritas adalah benar. Shes not judge me based on my problem, tapi dia gak ngasih advise juga yang menurut gue bisa progresif. Semuanya di serahkan ke gue.
Setiap orang hidup punya masalah, tapi gak semua orang mampu mengatasi masalah.
Setiap manusia terlihat hidup, tapi apakah dia benar-benar hidup?
Seketika gue terdiam, i know she said something meaningfull.
Mengoreksi diri sendiri, gue merasa gue adalah orang yang sangat overthinking terhadap sesuatu. Di satu sisi itu bagus karena gue bisa predict posibility apa yang bisa terjadi. but, in other side thats kill my happiness.
Gue gak bisa menikmati proses, karena gue selalu terpaku sama hasil. Gue gak bisa menikmati masa belajar, karena kuatir akan dicap tidak capable. Hal-hal ini terjadi terutama untuk sesuatu yang basicly gak gue sukai, dan sesuatu yang dipaksakan. Gue tidak menyukai cerita hal pribadi kecuali dengan orang terdekat atau yang gue anggap dekat. Trying really hard to make people impress (wah ini sih melelahkan sebenarnya). Tapi gue bisa sangat into it untuk sesuatu yang baru dan menurut gue itu menarik, sekalipun kata orang itu biasa aja.
Dan salah satu hasil lainnya yang bikin gue kaget adalah gue akan mengatakan apa yang terlintas dari pikiran gue directly. Gak tahu itu benar atau salah, kalau merasa gue harus sampaikan, ternyata gue akan sampaikan; dan contohnya setelah gue ingat-ingat kejadian sebelumnya ketika kemarin ada mahasiswa komplain dengan gaya mengajar yang gue kasih, dan dia menggerutu tapi cukup kedengaran di kuping gue, gue bukannya menyimpan untuk evaluasi bahan evaluasi, tapi gue langsung tanya balik saat itu juga. I wanna make sure ‘salahnya dimana’ dan bukan untuk menghakimi atau mengintimidasi lawan bicara. Setelah gue ingat-ingat lagi ternyata gue pernah beberapa kali bersikap yang sama. I just wanna make everything clear, gak bias dan gak ambigu. Itu bagus, tapi gue sadar gue kadang tidak menunggu moment yang tepat (gak suka yang bertele-tele kayaknya).
Masih banyak sebenarnya sifat-sifat gue lainnya yang masih coba untuk gue identifikasi. Makanya gue akan menulis ini dalam beberapa episode sejalan dengan apa yang akan gue temukan nantinya
Gue masih mencoba mengenali diri gue sendiri. Termasuk menulis tulisan di atas ini yang ternyata panjang sekali untuk di baca. I dont mind if you wont read. Gue cuma pengen overthinking ini keluar satu-satu dari kepala gue. Having a depression bukan berarti hidup gue bakal banyak dramanya, tapi gue merasa ini jadi pertarungan antara gue dengan diri gue sendiri. Doakan semoga gue berhasil menghilangkan yang buruk-buruk ini dan menjadikannya lebih positif.
#dealwithdepression.