Sepenggal pesan singkat cukup mengejutkan gue kemarin. Yah, selain karena memang hape gue gak pernah ada yang sms sih (sedih yah)  tapi salah satu pesan singkat yng masuk itu datang dari anak suku Baduy Dalam.

Kok bisa?!

Pesan singkatnya begini “ Halo, Mas Ari, kami sedang di Jakarta “

Nah loh!!

Sayangnya pesan singkat itu gue lihat satu hari berikutnya, dan ketika gue coba hubungi kembali ternyata nomornya sudah tidak aktif.

Kejadian itu seketika mengingatkan kunjungan pertama gue ke Suku Baduy Dalam yang berada di Kabupaten Lebak Banten, Jawa Barat. Iya, gue memang pernah mengunjungi Suku Baduy dua kali, satu memang untuk vacay dan satu lagi dalam kegiatan volunteer-ing.

Secara administratif, Kabupaten Lebak Banten sangat dekat dengan Jakarta namun secara geografis, beuh bukan main jauhnya. Itulah kali pertama gue mengunjungi Baduy sekitar bulan Mei lalu.

Perjalanan gue di arrange oleh Travel Agent yang sudah malang melintang di dunia traveling yaitu si TukangJalan.com. Sebenarnya ini trip reguler yang kayaknya selalu ada 2x/perbulan. So, berhubung badan ini lagi pengen di ajak jalan dan rasanya sudah sangat bosan dengan Jakarta, Gue memutuskan pergi sendirian di akhir pekan ke sana atau biasa kita sebut open trip.

Seperti biasa, gue gak mematok ekspektasi apapun untuk mengunjungi Suku Baduy, karena gue mau belajar langsung disana. Trip ini adalah trip dua hari satu malam, dua hari mengenal budaya dan kebiasaan sehari-hari suku Baduy dan satu malam tidur dan tinggal layaknya suku Baduy.

Untuk gue pribadi, trip ini sangat menarik. Kenapa? Suku Baduy khususnya Baduy Dalam adalah suku yang mem’primitifkan’ dirinya untuk tidak menerima kemajuan. Menariknya lagi, letak nya yang sebenarnya dekat dengan Jakarta memiliki kehidupan yang kontradiktif dengan sekitarnya. Hal ini diberlakukan khususnya bagi Baduy Dalam demi menjaga tradisi dan nilai-nilai luhur peninggalan nenek moyang. Wah!!!

Back to story, Sabtu pagi meeting point dilakukan Stasiun Tanah Abang. Say hello kepada para traveler lain yang kebanyakan juga solo traveler. Dari Stasiun Tanah Abang kita menuju ke Stasiun Rangkas Bitung yang berjarak sekitar 3 jam dari pusat Kota Jakarta. Gak terlalu jauh, cuma yah gitu, karena Rangkas Bitung adalah stasiun pemberhentian terakhir, jadi lumayan banyak penumpang yang akan berpulang ke kampung halaman, terutama di ketika weekend tiba

Sesampainya di Rangkas Bitung, gue dan rombongan langsung beralih menggunakan akomodasi daerah yang kayaknya sudah menjadi ciri khas kota Rangkas Bitung, yaitu Elf (sayangnya gak sempat poto nih elf padahal epic banget). Terdengar fancy abis yah, langsung dijemput elf, nyatanya itu mobil elf super tua yang jalannya dad-did-dud, tempat duduknya freestyle abis plus non ac, jadilah debu jalanan desa yang kita lewat bertabur nikmat bagai gula halus di atas donat. Seketika rambut menjadi kusut.

Sebelum sampai di Desa Baduy, Adit team leader TukangJalan.com memberi gambaran ringkas bagaimana kondisi sebenarnya di daerah sana, berhubung kami akan stay satu malam di wilayah Baduy Dalam jadilah kami diharapkan dapat menjaga sopan santun, tidak membuat keributan, saling menjaga, dan pastinya tidak mengambil poto wilayah kondisi desa Baduy Dalam dalam bentuk apapun. Termasuk tidak menyalakan handphone/cam recorder, atau segala bentuk alat eletronik lainnya. Oke, litlle bit weird but im excited.

Sebelum sampai di lokasi pun kami mampir ke sebuah warung sembako untuk membeli beberapa bahan makanan siap santap, seperti mie, telur, beras, sarden, dan beberapa bahan baku lainnya. Kenapa? Beberapa sembako ini akan diberikan kepada pemilik rumah yang akan kita huni sebagai bentuk ucapan terima kasih telah mau menampung. Selain itu juga konsumsi bagi kita selama menginap disana.

FYI, suku Baduy tidak mengenal atau belum mengenal sistem uang (apalagi uang elektronik yah), jadi segala bentuk aktivitas di sana membuat kita kembali ke jaman dulu kala, yaitu sistem barter. Artinya, barang yaang kamu punya misalnya hasil bumi bisa ditukar dengan barang jenis lain yang nilainya sepadan atau setimpal untuk ditukar.

Nah, tips buat kamu yang gak doyan makanan beginian, ada baiknya membawa makanan yang kamu suka entah itu roti, snack, atau makanan berat lainnya karena akan sangat membantu.

Patung Selamat Datang Kampung Baduy. Patung ini terletak di desa CIboleger.

Kata Adit ada dua akses menuju ke Desa Baduy, yang biasa itu yang banyak dikunjungi wisatawan adalah di daerah Ciboleger ditandai dengan patung Selamat Datang  SukuBaduy, dan satu lagi daerah belakang yang tidak perlu melewati Baduy Luar dan lebih dekat dengan Baduy Dalam yaitu lewat desa Cijahe (cuma gak tahu jalannya lewat mana). Sesampainya di sana kami disambut oleh tiga anak Baduy yang sudah stand by siap meng-guide kami menuju desa-nya Cikeusik (spelling like sik-asik)

Jalur lain menuju Baduy Dalam (katanya) lewat sini sih cuma makan waktu 45 menit jalan kaki

Gue lupa beberapa nama anak anak Baduy Dalam ini, tapi yang ingat salah satunya si Juli yang paling ramah dan mudah akrab dengan kita semua. Juli adalah salah satu dari penerus suku Baduy Dalam, berperawakan tidak terlalu tinggi, seorang pejalan kaki tangguh, dan cukup cerdas menurut gue. Juli sangat fasih menjelaskan detail desanya, bagaimana dia hidup, dan bagaimana dia menghadapi para turis-turis yang datang mengunjungi desanya.

Suku Baduy Dalam identik dengan ikat kepala putih dan baju berwarna putih yang selalu dikenakannya, sedangkan Baduy Luar diidentikan dengan ikat kepala berwarna biru tua bercorak dan baju berwarna hitam. Perbedaannya keduanya jelas dari gaya hidup dan cara bersosialisasi. Baduy luar lebih open minded untuk menerima kemajuan layaknya warga pedesaan lainnya, menerima santunan kesehatan, pendidikan, keterbukaan informasi dan teknologi. Lain hal dengan suku Baduy Dalam yang menolak keras segala bentuk kemajuan, even itu adalah kesehatan yang menjadi masalah utama yang biasa terjadi. Mereka lebih mempercayai adanya dukun atau tabib untuk mengobati masalah kesehatan.

Penjelasan si Juli membuat gue melongok seketika, menyadarkan kalau jarak dekat menuju desanya Juli adalah dekat versi Juli yang terbiasa berjalan jauh. Haha

Sesekali kami berhenti, melihat-lihat kondisi sekitar, dan mengambil gambar. Area suku baduy ini identik dengan kebun-kebun warga. Dulu sepertinya area ini adalah kawasan hutan, namun beralih fungsi menjadi kebun atau ladang terbuka milik warga sekitar. Jadi cukup mudah melewatinya, gak seperti bayangan gue yang harus melewati hutan belantara atau semacamnya. Cuma satu permasalahannya, panas gila !

Anak Suku Baduy Dalam identik ikat kepala berwarna putih. Eh ! Mereka bukan anak-anak lagi.
Lahan bercocok tanam Suku Baduy
Bapak Baduy Dalam sedang memeriksa kebun. He cant speak in Bahasa.

Satu setengah jam berselang, diterpa panasnya hari yang menyengat akhirnya kami sampai di perbatasan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Di sini kami berhenti sejenak. Adit kembali mengingatkan kembali untul tidak mengaktifkan handphone (gak ada signal juga sih) atau alat elektronik lainnya, plus menjaga tata krama. Berasa mau ikut ala –ala adventure gitu. Gue bisa memandang desa itu dari kejauhan, rumah-rumahnya tidak telalu banyak tapi tersusun berudang-undak kalau dari kejauhan malah mirip rumah rumah jepang.

Desa Cikeusik dari Kejauhan. Bagus yah!!

Oke turn off.

So, selama satu malam tidak ada elektronik yang akan diakses selama di Desa Cikeusik, well ada gunanya juga bagi kita yang terbiasa dengan gadget. Desa Cikeusik asli lucu banget, semakin mendekat dengan perkampungan ini semakin semangat lah gue berlari (padahal udah pegel banget pengen tiduran). Desanya terletak di tepat di pinggir aliran sungai berbatu dan di kelilingi oleh berbagai pepohonan yang rimbun.

Kami dipersilakan tinggal sebuah rumah yang cukup besar namun bangunan ini hanya terbuat dari kayu dan bambu. Berbentuk rumah semi panggung, tidak ada interior sama sekali, perkakas, ataupun sekedar pealatan dapur. Di dalam rumah hanya dibagi menjadi dua bilik, satu untuk tidur dan separuhnya lagi untuk memasak. Yah, mereka memasak di dalam rumah menggunakan tungku dari tanah liat di dalam rumah yang terbuat dari kayu. Luar biaya.

Mayoritas bentuk rumah Suku Baduy. Foto diambil di Baduy Luar

Serunya sih, satu rumah suku Baduy Dalam ini bisa dihuni oleh satu hingga empat keluarga. Mereka berbagi tempat antara satu dengan yang lainnya yang mayoritas adalah keturunan sedarah atau saudara sekandung. Kebayang dong ruwetnya kalau semua lagi pada berkumpul. Suku Baduy Dalam bekerja sebagai seorang petani ladang, atau bekerja mencari penghidupan di hutan, jadi wajar saja kalau kampung Cikeusik ini cenderung sepi dan banyak rumah ditinggal dalam keadaan kosong, karena di siang hari mereka sedang bekerja dan akan pulang ketika mulai larut atau bahkan pulang setelah  beberapa hari kemudian.

Kami dijamu dengan secangkir kopi di dalam gelas bambu yang disuguhkan Ibu (panggil aja gitu) yang menyambut kami dengan senyum sumringahnya. Ibu selalu senang apabila ada wisatawan yang mau datang untuk mengunjungi mereka (faktor ekonomi terbantu juga cui). Gue luangkan waktu sebentar untuk berkeliling kampung dengan yang lainnya, wih rumahnya unik-unik karena menghadap pada satu arah yang sama. Filosofis banget sih, relate dengan adat istiadatnya. Kekayaan seorang suku Baduy juga gak dilihat dari besar kecilnya rumah sih, tapi berapa banyak mereka punya tungku masak yang terbuat dari tembaga. Wah langsung kebayang rumah Ibu tadi ternyata banyak banget tungkunya. Duitnya banyak nih!

Menariknya lagi, ada satu rumah yang paling besar, terletak di atas tanah/gundukan yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Yah, walaupun sama sih ornamennya, tapi keliatan kalau rumah itu bukan rumah sembarangan. Rumah itu adalah milik ketua adat atau semacam pejabatnyalah yang mengayomi para warga Desa Cikeusik. Katanya juga sih tempat ini suka didatangi oleh orang-orang yang pengen minta ‘didoakan’ sama si ketua adat. I dunno its work or not. Jadi gak heran deh kenapa rumah pak si kepala adat selalu lebih bagus dibandingkan yang lainnya.

Setelah lelah berkeliling kampung, melipirlah kami ke pinggir sungai. Sejak pertama kali datang udah kebayang kenikmatan duniawi merasakan segarnya tetesan air di sekujur tubuh ini (halah apasih).

Udah deh, dalam hitungan ke tiga semuanya sudah dalam posisi relaksasi di spotnya masing-masing. Niat hati membersihkan diri dengan paripura, namun kenyataannya warga Desa Cikeusik melakukan semua aktivitasnya di sungai, entah itu cuci, mandi, kakus dan aktivitas lainnya, berbaur deh segala kegiatan kita. (langsung mikir dua kali). Dan parahnya lagi, ternyata adat istiadat di sini melarang penggunaan deodoran, peralatan mandi, sekalipun itu sikat gigi.

APAAAAAH!!! Jrengg .. Jreng … Jreng ..!!!

Alhasil kami diajari untuk membersihkan diri menggunakan dedaunan, dan beberapa potongan buah pengganti sabun dan shampo. (Udah kayak Nikita Willy belum sikat gigi pakai buah).

Jorok? Yaudahlah yah sesekali dalam hidup. Trying something u never done before.

Hari sudah menjelang malam, tak ada adzan terdengar, tak ada suara tivi, tak ada cahaya lampu, Cuma ditemani krik-krik suara jangrik di rerumputan. Suasananya anyep, dingin banget macam hati gue sekarang (yaelah). Tidak ada mushola/tempat ibadah di sini, katanya sih even warga desa Cikeusik beragam muslim tapi mereka tidak melakukan sholat atau semacam. Please dont judje if you a real muslim.

Mereka hanya melakukan apa yang mereka yakini.

Malam itu jam delapan malam rasa sudah malam sekali. Tidak ada aktivitas berguna yang bisa dilakukan, tapi kita merasa lebih intim aja sih antara satu dengan yang lainnya karena moment seperti ini lebih enak digunakan untuk makan malam bersama dan ngobrol-ngobrol satu dengan yang lain. Kami diperkenalkan dengan berbagai kebiasaan yang lain, termasuk kegiatan mereka menghibur diri ketika malam, yaitu dengan memainkan alat musik kecapi. Mereka hebat loh .

Pukul sembilan kami sudah ambil posisi untuk tidur, gilak men! Dingin banget ternyata ketika malam. Angin berhembus terlampau kencang melewati sela-sela dinding bambu yang rongganya lebih dari dua jari. Gak kebayang mereka bisa survive hidup dalam kondisi seperti ini. Kalau gue sih pagi bisa langsung masuk angin. Kami tidur diiringi dentingan kecapi yang dimainkan anak-anak.

Seketika itu juga gue tidur pulas.

Kami terbangun terlalu pagi sepertinya, hari masih gelap tapi mata sudah jreng semua. Mungkin karena tidur terlalu awal. Pagi-pagi udara segar tak terbantahkan, sambil dengar gemerisik sungai yang lagi dingin-dinginnya. Adit mengajak kita untuk pergi ke atas bukit, melihat Desa Cikeusik dari kejauhan, sekaligus berkeliling sekitaran Kampung. Benar saja, pagi itu Desa Cikeusik nampak cantik sekali dikelilingi embun putih, kita duduk di atas bukit sambil menunggu matahari terbit. Wah, priceless.

Gubuk warga Baduy di pagi hari. Poto diambil diperbatasan desa (kamera boleh dibawa tapi dinyalakan diluar)

Baru deh setelah itu keliling kampung lewat kebun-kebun milik para warga desa. Hanya sedikit sawah yang ditemukan di sekitar sini, itu pun bukan jenis padi yang biasa di tanam di daerah persawahan dengan air yang melimpah. Ada juga kandang-kandang ayam, gubuk-gubuk tempat menyimpan hasil bumi dan lumbung padi.

Sesekali kami bertemu dan menyapa anak-anak kecil yang lewat di desa Cikeusik, eh tapi mereka berlalu saja dengan berbicara dengan bahasa yang gak gue mengerti. Ternyata memang benar, tidak ada pendidikan yang menyentuh Desa Cieusik even itu adalah pendidikan dasar, sehingga mereka tidak berbicara dalam bahasa Indonesia namun menggunakan bahasa buminya yaitu bahasa Sunda Banten walaupun sedikit-sedikit paham apa yang kami sampaikan dalam bahasa Indonesia.

Dibelakang gue ada kandang ayam dan tempat Bapaknya istirahat kalau pas berkebun.

Well, setelah sarapan dan berenang lagi di sungai idaman kami, sepertinya kunjungan ke Baduy Dalam harus di sudahi, karena kami akan mengunjungi Baduy Luar sekaligus lebih mengenal perbedaan antar keduanya.

Setelah berpamitan dengan Ibu, kami menyiapkan fisik dan perberkalan lagi untuk berjalan jauh dibawah terik matahari yang menyengat. Gak tahu deh, siangnya panas ampun-ampunan, malamnya dinginnya kebangetan. Setelah di luar perbatasan Desa Cikeusik baru deh kami diperbolehkan memegang gadget kembali, langsung semua sibuk foto-foto.

Ibu lokal Baduy Luar, identik dengan kain berwarna biru tua dengan corak hitam. Strong yah ibu ini!

Seperti yang gue katakan sebelumnya, Suku Baduy Luar lebih open terhadap moderinasi. Terbukti di rumah-rumah mereka walaupun mirip dengan Baduy Dalam sudah menggunakan listrik untuk penerangan, ada tivi, dan berbagai perlengkapan lainnya. Anak-anak mengenyam pendidikan sekolah dan mendapat akses kesehatan.

Sebenarnya hal ini sedikit ironi sih, karena pada kenyataannya beberapa warga Suku Baduy Dalam ingin juga merasakan kemajuan zaman, dan berbagai moderinasi yang dimiliki Baduy Luar. Sayangnya resiko bagi mereka yang ingin merasakan hal itu tidak main-main, yaitu tidak dianggap sebagai bagian dari suku Baduy Dalam lagi. Sebagai contoh, orangtua kamu orang Baduy Dalam assli, tapi kamu pengen merasakan pendidikan sekolah di Baduy Luar atau di pusat kota. Hal itu mungkin untuk dilakukan namun kamu tidak lagi dianggap sebagai keluarga besar Baduy Dalam. Walaupun Bapak Ibu kamu masih berada di Baduy Dalam. Ibaratnya kamu tidak akan memiliki kampung halaman lagi, karena  kamu sudah tidak memegang teguh amanah dan adat istiadat suku Baduy Dalam dari generasi ke generasi. Tekniknya sih begitu, tapi gak tahu juga keadaan aslinya.

Lumbung padi. Tempatnya terpisah dari rumah warga. Padi dimasukkan lewat bagian atas supaya gak ada yang bisa maling. Cara ambilnya gimana yah?

Sepertinya hal itu menjadi pengecualian bagi Juli dan kawan-kawannya. Juli bekerja sebagai guide bagi para wisatawan, pastinya mendapat binaan dari Dinas Pariwisata terkait, namun Juli masih bagian dari Baduy Dalam karena pengaruhnya dalam membantu perekonomian sekaligus mempertahankan adat istiadat sehingga masih menarik untuk dikunjungi. Juli juga mengenal handphone dan bisa menggunakannya untuk menelopn dan ber-sms. Hal ini biasa mereka lakukan ketika mereka sedang berkunjung ke kota besar semacam Jakarta mereka menyebutnya Sabai Kota. Gak heran makanya Juli tiba-tiba memberi kabar keberadaan mereka.

anka-anak Baduy. Lucu!

Gimana mereka ke Jakarta ?

Mereka jalan kaki men, Suku Baduy Dalam dilarang menggunakan transportasi umum ketika bepergian, hebatnya lagi mereka melakukan perjalanan jauh tanpa alas kaki. Perjalanan ke Jakarta biasanya ditempuh selama 3 hari dua malam berjalan kaki. Gilak-Gilak!!!

Gak heran kaki mereka cenderung lebih besar dibandingkan kita dan lebih keras karena terbiasa berjalan dengan beban dan jarak yang sangat jauh.

Perjalanan ke Baduy Dalam walaupun hanya dua hari satu malam namun memberikan arti yang luar biasa. Bukan soal budayanya saja, kebiasaan hidupnya, tapi juga kegigihannya dalam mempertahankan warisan budayanya walaupun dalam hati mereka terbesit ingin merasakan kemajuan itu. Tapi mereka mampu menyingkirkan segala keegoisan itu demi mempertahankan tradisi. Salut deh !

Berasa gue bapaknya.

Sebelum berpisah, gue sempatkan untuk berpoto bersama Juli dan teman-teman, sekaligus membeli beberapa aksesoris yang mereka jual. Walaupun sebenarnya gak butuh, tapi membeli sedikit gpp loh guys, itung-itung membantu meningkatkan penghasilan mereka. Gue membeli beberapa gelang, baju hitam khas Baduy (entah kenapa gue beli) dan madu asli Baduy yang muanis buanget.

Tak lupa gue juga gue minta nomor Juli siapa tahu suatu hari nanti gue membutuhkan Juli untuk meng-guide kunjungan berikutnya. Juli pun begitu, gue catatkan nomor gue dibuku teleponnya sewaktu-waktu dia di Jakarta supaya bisa mengontak gue seperti yang sudah dia lakukan kemarin.

Seneng sih, senang  traveling semacam yang gak ada obatnya. Hehehe

So, kalau di daerah kamu ada cerita menarik nih!.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *