Idul fitri tinggal menghitung hari,

Pertanda bulan ramadhan pun segera berakhir. Selain menyambut kemenangan-Nya, sebagian orang pasti bersuka cita, sebagian orang pasti sedang sibuk sibuknya, tapi tahukah kamu sebagian lainnya dalam rasa ketakutan?

Mari berbicara realitas, di dalam lubuk hati yang paling dalam, tidak ada satu orangpun yang ingin menyambut Idul fitri dalam kesendirian. Seberat-beratnya pekerjaan, seberat beratnya tanggungan, masih berat mendengar kumandang Allahu Akbar di masjid pada hari raya pertama. Moment haru meninggalkan ramadhan, moment ingin di tengah pelukan keluarga, moment ingatan lebaran tahun lalu bercampur baur membuatmu berurai air mata.

Idul fitri tinggal menghitung hari.

Bagi kaum rantauan, ini saat perjuangan dimulai (kembali). Bukan hal baru kalau harus berjibaku dengan kerasnya musim mudik tiap tahun. Kamu juga pasti sudah hafal benar rute mana yang kamu harus pilih, tiket jenis apa yang kamu beli, hingga  oleh-oleh apa yang harus kamu bawa dan beri. Namun, satu yang paling sulit dihilangkan padahal ingin dilupakan adalah perasaan takut pulang.

Menjadi kaum rantauan ibarat berdiri di dua sisi mata pisau (karena sama tajamnya) di satu waktu kamu lelah dengan beban dan dengan tanggung jawab yang harus kamu pikul berbulan-bulan bahkan tahunan. Di sini lain, kelelahan lainnya muncul justru dari orang-orang terdekat kita, lingkup keluarga kita, bahkan teman-teman kita sendiri di kampung halaman.

Idul fitri tinggal menghitung hari

Gue masih ingat lebaran tahun lalu,  petang itu di Bandara Soekarno Hatta gue bertemu dengan seorang wanita yang menangis tersedu-sedu di sebuah kedai kopi sembari merobek-robek tiket penerbangannya. Orang-orang hanya bisa memandanginya dengan terheran-heran.

Gue yang hanya berjarak dua bangku dengannya mencoba membuka obroloan dengan memberikan sepotong kue green tea. Walaupun gue tahu sebenarnya dia tidak butuh. Dan gue bisa menebak dia pasti menolaknya. Gue memperkenalkan diri dan meminta izin untuk duduk di depannya.Sembari menyeka air matanya, dia mempersilakan walaupun dengan nada berat hati.

“ Terima kasih kue-nya yah Mas, tapi maaf saya masih kenyang” katanya

“Tidak apa-apa Mbak, kalaupun tidak dimakan sekarang, Mbak bisa menyimpannya untuk perjalanan Mbak nanti”

Dia terdiam

“Seberapa sering Mas pulang kampung?” celetuknya sembari menyeka air mata.

“hanya sesekali Mbak, kampung saya jauh paling sering per-tiga bulan, Mbak sendiri?”

“Saya hanya pulang kampung satu tahun sekali Mas ke Balikpapan, hanya pas musim lebaran, tapi ….” kembali dia terdiam

“Tahun ini saya tidak ingin pulang” tetesan air matanya kembali mengalir dari kelopak matanya.

“Mbak, are you ok?” tanya gue

Tangisannya semakin menjadi dan gue jadi salah tingkah hanya bisa menenangkannya lewat  kata-kata yang gue gak tahu ampuh atau tidak. Its perk of being stranger, sometimes you meet unpredictable moment like this.

Setalah mengambil satu tarikan nafas panjang, dia mengawali ceritanya. Dia adalah seorang perantauan Kalimantan yang sudah hampir 6 tahun tinggal di Jakarta, usinya kini 32 tahun. Bukan usia muda lagi untuk seorang gadis yang hidup di kota metropolitan sebesar Jakarta. Walaupun bagi orang Jakarta sendiri hal itu sah-sah saja. Impiannya untuk menyelamatkan perekonomian keluarga memaksanya untuk merantau dan meninggalkan kenyamanan hidupnya di kampung, dan berjuang sendirian melewati kerasnya ibu kota. Enam tahun berlalu, setelah kestabilan finansial sudah dirasa cukup, masalah lain bermunculan.

Menjadi seorang single di usia yang tidak umum bagi pandangan kita bukanlah sesuatu hal yang gampang. Salah satunya adalah pilihan untuk berkeluarga. Dia tidak memungkiri bahwa dunia kerja yang kompetitif sedikit demi sedikit telah mengubah mind-setnya bahwa memiliki pasangan dirasa tidak terlalu perlu dan menambah kerumitan hidupnya. Walaupun dia tidak bisa memungkiri ada saat-saat dia membutuhkan sebuah pelukan untuk mendamaikan hatinya yang berantakan.

“Maaf mas, saya jadi keterusan cerita, padahal kita baru bertemu saya jadi curhat colongan” potongnya

“Gpp mbak, selama bisa meringankan pikiran dan melegakan hati mbak, justru berbagi cerita dengan seorang stranger malah tidak ada beban” kata gue

Kemudian dia melanjutkan ceritanya

“Rumah saya sudah gak ada Mas, karena rumah saya gak ada, saya gak mau pulang”

“maksud Mbak?”

“Ibu saya, rumah saya adalah ibu saya. Satu-satunya orang yang bisa mengerti saya dengan kondisi saya sekarang”

“Ibu saya telah berpulang empat bulan yang lalu” ungkapnya sembari berkaca-kaca.

Sosok yang paling dia rindukan adalah ibunya, satu-satunya orang tempat dia berlindung dari segala kerumitan ini adalah ibunya. Salah satu tekanan yang paling sering dia dengar dalam bentuk sindirian, candaan, hingga pertanyaan serius apalagi kalau bukan.

“kapan nikah?”

Seriously, dunia gak akan kiamat kalau gue nikah atau enggak” tegasnya

Hampir setiap perkumpulan keluarga, terutama pada musim-musim lebaran sebelumnya bisik-bisik angin tidak enak sudah kerap menghampirinya bahkan ketika dia hanya ingin membeli beberapa butir telur di warung dekat rumahnya. Pernyataan yang sama disampaikan oleh Ayahnya sendiri yang merupakan seorang pensiunan TNI, sebagai anak perempuan satu-satunya (walaupun sebenarnya dia punya kakak dan adik laki-laki) tidak henti-hentinya ayahnya meminta dia untuk segera menikah bahkan sekarang setelah ibunya tidak ada, Ayahnya cenderung memaksanya,

“gak enak sama tetangga.” Dia menirukan ayahnya.

“Gue berhak atas hidup gue sendiri, dan gue gak hidup untuk menyenangkan hati orang lain, sekalipun itu ayah gue sendiri”

Hal itulah yang membuatnya enggan untuk pulang kampung. Ketika hal sepele bisa menjadi besar hanya karena selisih bicara, terlebih ketika Ibunya telah tiada. Dia jengah harus berseteru dengan ayahnya hanya soal pernikahan, mantu, cucu dan sebagainya walaupun sebenarnya ayahnya sudah memilikinya dari kakak dan adiknya. Seolah-olah pernikahan adalah akhir dari segalanya. Ayahnya hanya ingin tanggung jawab terhadap anaknya lepas, terlebih dia adalah seorang perempuan

Walaupun dia tidak memungkiri ada rasa rindu di dalam hatinya untuk memeluk ayahnya lagi.

Gue rasa hal semacam ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Di kehidupan gue juga. Ofifcially, sekarang gue seumuran Mbak itu ketika dia mulai merantau di Jakarta. Pertanyaan serupa mulai menggerogoti gue yang mulai menanyakan kapan gue menggandeng seorang pasangan. Entah itu candaan atau sekedar kepoan.

Jujur aja, gue juga cenderung malas untuk menanggapinya. Kalaupun itu adalah sebuah basa-basi lebih baik hentikan basa basi “kapan nikah?” yang sesungguhnya tidak penting-penting amat dan gak ada hubungannya secara personal dengan kehidupan kamu juga. Masih banyak yang bisa dibahas dalam kehidupan ini. Menanyakan kabar seorang teman tidak harus seperti itu.

Bagi kalian yang sudah menikah dan mempunyai keturunan, bersyukurlah atas hidup yang kalian pilih. You look ordinary. Kalian terlihat seperti keluarga normal pada umumnya. Jika mulut nyinyir kalian hanya untuk menyenangkan hati kalian atas pencapaian kehidupan kalian yang ‘terlihat’ lebih unggul dibandingkan orang lain, you need to stop this. Cukup di doakan saja sebenarnnya sudah lebih dari cukup.

Entah berapa banyak korban kenyinyiran dan keterpaksaan seperti yang di alami Mbak ini dalam kehidupan kita. Believe or not, sebenarnya itu membuat trauma tersendiri dalam diri dia untuk melewati musim-musim lebaran seperti ini.

Ayolah beri kebebasan dan keterbukaan dengan tidak membebani mereka dengan pertanyaan yang itu-itu saja. Sampai membuat seseorang enggak untuk berkumpul dengan keluarga itu juga jahat sih. Walaupun sebenanrnya Mbaknya bisa memilih untuk tidak mendengarkan dan memasukkan ke hati tapi kita tidak bisa membohongi hati yang mulai mendengki.

Takut pulang padahal ingin itu sulit men, you cant figure it out kalau kamu gak ngerasain sendiri. Gue sebagai seorang rantauan juga cukup paham degan kondisi seperti ini, karena kalau bisa dibilang gue juga ‘korban’ dari kekepoan orang-orang yang cuma nanya tapi nyindir gak pakai otak macam ini.

Tidak banyak yang bisa gue katakan untuk memenangkan hati Mbaknya, karena pada saat-saat seperti ini dia hanya ingin di dengar bukan di nasehati. Gue hanya menyarankan dia untuk mencetak kembali tiket yang telah dirobeknya, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi. Seperti kata mbaknya, kita hidup tidak untuk menyenangkan setiap orang.

gue hanya bisa bilang “Kita juga tidak hidup untuk melewatkan banyak kesempatan, salah satunya berkumpul dengan keluarga”

“Saya ingin Ayah menjadi rumah saya juga Mas, seperti Ibu rumah tempat saya kembali sejauh apapun saya pergi”  dan dia kembali menangis sekali lagi.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *