Dear Mia & Sebastian
Kalau cerita hidup ini bisa dibuat semusikal kalian, rasanya gue pengen cepat minta ajarin kalian berdua untuk nge-dance sambil nyanyi.
Jujur saja, hampir setengah jam di awal cerita gue hampir ketiduran dengan film ini, gue gak ngerti kenapa belum apa-apa udah menyanyi, menyanyi, dan menyanyi lagi (kayaknya film India gak gitu-gitu amat deh). Bener sih kata orang, gak semua orang paham dengan film bagus dan kalau ada yang menggangap film ini jelek, yah- gak semua sih punya selera bagus. Sampai gue tonton berulang-ulang. Sountracknya pun gue putar berkali-kali.
As usual, jalan cerita kalian berdua gampang ditebak, cewek bertemu seorang cowok dan berjuang bersama mewujudkan mimpi kalian masing-masing. So realistic! but in the end kalian membuat ekspektasi yang sudah dibangun ini berantakan.
Thanks so much.
Mia, perjuangan itu memang menyakitkan yah. Meninggalkan kampung halaman, rela kerja seadanya demi tinggal di tempat jutaan mimpi digantung. Los Angeles itu neraka Mia, neraka manis yang membuatmu terbuai bahwa kenyataan dan impian membuatmu seperti lembaran keju dalam setumpuk sandwich. Tidak ada keju, sandwich masih bisa diisi dengan yang lain. Bahkan kejumu ternyata lebih disukai di Paris, Mia.
Mia, pasti kamu sudah khatam benar bagaimana rasanya penolakan, audisi-mu hampir tidak ada yang berhasil, Sebastian pun tidak bisa menjawab ketika kamu bertanya bagaimana akting monologmu, bahkan penonton teatermu pun hanya hitungan jari. Sampai akhirnya kamu mendengar sendiri cemooh orang lain di balik pintu. Itu perih sih. Sampai di titik semuanya gak ada artinya.
“Enough to embracing my self ” begitu katamu
Gue gak tau Mia, apakah gue bisa sekuat kamu sekarang?
Penolakan itu sekarang masih menghantui gue satu persatu. Harus berapa banyak ‘audisi’ yang harus gue lewati demi sesuatu hal yang manis diakhir. Seperti dirimu mengakhiri audisi terakhirmu lewat :
” The Fool Who Dream”.
Here’s to the ones who dream
Foolish as they may seem
Here’s to the hearts that ache
Here’s to the mess we make
Hai Sebastian,
Memang benar, hidup tidak cukup dengan idealisme dan keegoisan diri sendiri. Seperti taman bermain, sekalipun menyenangkan tidak akan pernah asyik memainkannya sendirian. Kamu berusaha membawa harapannmu bersama Mia, membuatnya menyukai apa yang tidak suka, setelah itu meninggalkannya begitu aja. Bahkan membuat seolah ‘kesuksesanmu’ adalah musuh bagi Mia. Itu jahat sih.
Seperti menelan ludah sendiri, katamu jazz itu harus murni. Kenyataannya, kamu memilih menjadi nge-pop demi tuntutan hidup. Tidak ada yang salah, sekali lagi memang kenyataan gak pernah seperti apa yang diharapkan. By the way Sebastian, i still love your authentic car, classic. And how you treat lovely Mia for supporting every step of her carier life. Karena memang seharusnya setiap laki-laki begitu.
Love and dreams memang relatable buat setiap orang, realistis dan relevan, manis tapi juga nyakitin. Mungkin kita sama, sama-sama mempunyai gairah serupa dengan Mia dan Sebastian. Menggantungkan mimpi setara dengan cinta. Yang pada akhirnya kita hanya mendapatkan salah satunya, atau kehilangan keduanya.
La La Land, show me the truth, bahwa kesuksesan lebih manis dibandingkan cinta yang tulus.
“ Just wait and see” kata Sebastian
Well, terkadang kita melakukan kesalahan, terkadang kita lupa apa yang kita ucapkan menyakiti orang lain, terkadang kita sadar kemampuan untuk berjuang, dan batasan untuk menyerah pada kenyataan.
Thanks Mia.
Thanks Sebastian.