“One of the most important things you can do on this earth is to let people know they are not alone.”
– Shannon L. Alder –
Cerita kami di Lebak, Banten, masih berlanjut [sebelumnya kunjungi di Mengukir Cerita di Girijagabaya Part 1 ]. Sinar terik sang mentari di desa Girijagabaya tidak menyurutkan semangat para relawan untuk memberikan inspirasi kepada adik -adik. Walaupun kening penuh buliran keringat, udara yang pengap, suara mulai goyah dan terasa serak, dan bercampur dengan riuhnya para ibu yang menemani sang anak.
Siang itu (4/6/2016), kami mengakhiri Kelas Inspirasi dengan meminta adik-adik untuk menuliskan masing-masing mimpi dan cita-cita mereka pada secarik kertas untuk ditempelkan pada pohon cita-cita. Walaupun waktu terasa begitu singkat namun ada senyum simpul yang membekas ketika kami membaca dan menempelkan satu persatu tulisan adik-adik ini sambil berharap
“Semoga cita-cita mereka terwujud, Amien “.
Kelas berakhir dengan saling mengingat nama adik-adik, berjabat tangan, dan berpoto bersama. Beberapa adik-adik langsung pulang bersama ibunya, tetapi tidak sedikit pula yang masih bertahan di tempat. Kami sempat kebingungan, agenda acara sudah selesai dan masih banyak adik-adik yang mengerumuni kami di saung. Jujur, kami hanya ingin meminta waktu sejenak untuk sekedar meluruskan kaki, merebahkan badan, dan sedikit bernapas, tetapi keadaan tidak memungkinkan. Dari kejauhan, nampak seorang ibu bersama beberapa adik-adik yang sedari tadi terlihat sangat “vokal” ketika kami menyampaikan inspirasi. Sepasang matanya tak pernah lepas untuk menyemangati adik-adik, meminta kami para relawan untuk lebih aktif, dan berkomentar sana-sini. Dan aku hanya bisa memberi satu tarikan nafas panjang ketika menghadapinya.
Fyuuuuuh
Beberapa relawan berkenalan dengan ibu tersebut. Namanya Ibu Henni, beliau adalah seorang ‘guru mengaji’ di desa Sinar Jaya, Lebak, Banten. Beliau bersama adik-adik datang memenuhi undangan dari para panitia untuk mengikuti acara Inspire Action Day (IAD) ini. Selain itu, beliau juga bermaksud mengajak kami berkunjung ke desa Sinar Jaya untuk melihat langsung kondisi adik-adik di desa tersebut. Memang, dalam agenda acara selepas Kelas Inspirasi, kami berniat untuk melakukan aksi Bangun Pustaka Baca di desa Sinar Jaya.
Sedikit menjelaskan mengenai Pustaka Baca, Program Bangun Pustaka Baca adalah satu dari beberapa program pendukung peningkatan akses pendidikan yaitu perpustakaan. Yayasan Filantropi Indonesia (YFI) bersama masyarakat Desa Sinar Jaya di Kabupaten Lebak melakukan renovasi dan membangun saung atau pondok belajar untuk masyarakat. Tidak hanya membangun pustaka baca, YFI juga berperan dalam pembinaan pengurus pustaka baca dan pengelolaannya. Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunannya, diharapkan dapat menjadi pengaruh yang cukup besar dalam keberlanjutan program-program pendidikan selanjutnya, terutama di Desa Sinar Jaya. Untuk infonya lengkapnya, kamu bisa cari tahu di Bangun Pustaka Baca Bersama YFI.
Hari sudah semakin sore, teriknya mentari berganti dengan langit yang mulai terlihat muram dan kurang bersahabat. Para murid MI Mathlaul Anwar sudah banyak yang membubarkan diri, tinggallah murid SD Sinar Jaya yang masih setia menunggui kami bersih-bersih. Beberapa anak terlihat cemas dan gelisah karena langit mulai mendung pertanda hujan akan turun. Begitu pula Ibu Henni. Takut keburu hujan datang, beliau meminta kami untuk segera berkemas dan berangkat ke Desa Sinar Jaya. Beberapa dari kami hanya saling bertukar pandang, menyiratkan kode-kode apa yang harus dilakukan. Mencoba menanyakan pada panitia utama, namun mereka sedang menghadiri rapat yang lain. Oh no !
Semakin gelisahnya adik-adik membuat Ibu Henni bergerak cepat, beliau meminta panitia untuk menentukan pilihan. Tetap di sini atau ikut ke Desa Sinar Jaya. Nampak dari raut wajah pengharapan Ibu Henni agar kami segera berangkat ke Desa Sinar Jaya. Sampai akhirnya panitia memutuskan untuk memasukkan barang-barang bawaan ke dalam mobil dan kami ikut serta bersama Ibu Henni. Berjalan kaki menuju Desa Sinar Jaya.
Kami bergegas memasukkan barang ke mobil panitia, beberapa relawan berkumpul masih nampak bingung apa yang harus dilakukan, karena panitia utama tidak berada di tempat untuk memberikan instruksi. Sedangkan Ibu Henni sudah berada di ujung jalan menunggu kami menghampirinya, bahkan beberapa adik-adik sudah mulai berlarian ke depan meninggalkan Girijagabaya. Aku yang kebetulan berada tidak jauh dari gerombolan adik-adik secara spontan ikut berjalan bersama mereka. Bukan bermaksud ‘ngide’ aku mengajak Mas Dede (salah satu relawan) untuk ikut bergabung. Dan satu yang kami berdua lupa, harusnya kami mengajak serta relawan yang lain.
Sekitar sepuluh menit berjalan menyusuri jalanan yang menurun, beberapa kali Ibu Henni membalikkan badan, melihat ke arah ujung jalan ,dan melemparkan pertanyaan kepadaku
” Kakak-kakak yang lain ada di belakang kan, kak ?
dan dengan santainya aku menjawab ” Iya Bu, tenang aja mereka ada di belakang kok”
Mas Dede pun mengangkat alisnya seolah berkata ” Yakin nih Ri ?”
“Im not sure, mas” jawabku sambil tersenyum kecut.
Jalanan menurun berganti dengan rumah-rumah penduduk, di selingi beberapa persawahan kecil, kolam-kolam ikan, dan kebun-kebun warga yang lebih mirip semak belukar. Adik-adik masih gesit berlarian, beberapa mengajakku mengobrol, dan beberapa diajak bernyanyi oleh Ibu Henni. Menyanyi adalah salah satu metode mengajar Ibu Henni agar anak-anak mudah ingat terhadap pelajaran dan mengurangi kebosanan, begitu kata beliau. Pantas saja suara mereka terdengar yang keras dan lantang, adik-adik mulai melantunkan sholawat nabi sambil diselingi suara tepuk tangan. Salut deh sama adik-adik ini.
Beberapa kali aku membalikkan badan, melihat ke ujung jalan berharap relawan yang lain memperlihatkan batang hidungnya. Sembari menyeka keringat, Mas Dede nampak kebingungan berkali-kali pula melihat ke arah handphonenya yang tidak ada jaringan selulernya.
” Oh shit, mereka gak nyusulin kita”
Secara gak sadar kalimat tersebut keluar dari mulutku, entah didengar anak-anak atau tidak. Rasa jengkel mulai bermunculan. Mas Dede yang berjalan lebih depan bersama adik-adik yang lain sepertinya sudah menyadari kalau hanya kami berdua relawan yang ikut dalam rombongan ini. Dibarengi rasa kesal berpadu rasa lelah, ditambah kondisi jalan yang tidak manusiawi, aku berkali-kali bertanya kepada adik-adik
“Masih jauh gak dek ? masih jauh gak sih dek ? “.
Sampai akhirnya aku merasa sebuah tangan kecil menggengam tangan kiriku, seorang adik kecil, hitam manis, berbaju kotak-kotak, dan beransel biru yang aku lupa tanyakan namanya menatap mataku sambil berkata
“Kak, boleh pegang yah, aku capek kak ..”
Sepersekian detik aku terdiam dan akhirnya kuanggukkan kepala. Seketika aku tersadar dan menyumpahi diriku sendiri, bisa-bisanya aku mengeluh dalam kondisi seperti ini. Sepasang tangan kecil lainnya juga merangkul erat lenganku disusul tangan-tangan kecil yang lain yang ikut memegangiku. Aku berjalan dengan tangan sedikit terentang melewati jalan berbatu bersama beberapa anak yang ikut mengerubungiku. One of my personal experience yang membuat aku mengharu biru, sekaligus malu. Aku tundukkan kepalaku, melihat barisan bocah bocah kecil berjalanan beriringan, sembari menahan air mataku yang sudah menggantung.
I know what you feel Mas Fauzan, Mas Anam.
Jalan menuju Desa Sinar Jaya serasa tidak berujung, langit semakin kelabu, rintik hujan mulai turun. Aku memandang ke arah depan melihat Mas Dede yang sudah membuka mantel hujan untuk melindungi dirinya dan beberapa adik-adik kecil lainnya. Aku balikkan badan melihat Ibu Henni tanpa lelah menyemangati adik-adik untuk terus berjalan sebelum terguyur hujan, sambil sesekali menyapukan tangannya tanda bahwa dia juga kelelahan. Sungguh luar biasa perjuangan beliau ini, kepeduliannya kepada anak-anak insyallah mendapat kemuliaan tertinggi. Sosok wanita panutan anak-anak walaupun sebenarnya beliau pun dibelenggu keterbatasan.
Setelah itu perjalanan menuju Desa Sinar Jaya tidak ku rasakan berat lagi. Berat dirasa bagi mereka yang tidak ikhlas melewatinya, berat dirasa bagi mereka yang menganggapnya sebagai suatu hambatan. Sesekali aku bayangkan betapa perjuangan adik-adik ini menuju sekolah, melewati jalan yang mendaki-menurun, resiko dipapar sinar matahari atau diguyur hujan. Mungkin bagi para traveler atau pejalan terbiasa dengan jalan seperti ini dan mungkin terasa kurang menantang, tapi lain cerita kalau dirasakan oleh anak anak. Seharusnya hal-hal semacam ini bisa menjadi perhatian bersama. Aku selingi perjalanan ini dengan sesekali menanyakan cita-cita mereka, mau melanjutkan kemana setelah lulus sekolah dasar, pelajaran apa yang disuka, senang tidak kedatangan kakak-kakak mahasiswa dan beberapa pertanyan personal yang lagi lagi serasa menampar mukaku berkali kali. Mereka juga merasa sedih ketika tahu bahwa kami harus pulang ke Jakarta keesok harinya.
Akhirnya kami tiba di Desa Sinar Jaya, desa dengan jalur jalan yang berbukit menurun dan menanjak, di selingi dengan kebun-kebun kecil, sawah dan sungai di pinggiran desa. Kami diarahkan menuju sebuah saung yang ternyata merupakan Pustaka Baca yang sedang dibangun oleh masyarakat yang berkolaborasi dengan Yasasan Filantropi Indonesia. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, terasa cukup untuk kami semua. Kami disambut oleh beberapa pemuda, dan ibu-ibu desa yang menyalami kami dan mempersiapkan makanan-makanan kecil di dalam saung. Agak sedikit awkward rasanya, dan membuat pertanyaan bagi mereka kenapa hanya ada dua mahasiswa yang datang, sedangkan porsi makanan banyaknya tidak karuan. Kami merasa semakin tidak enak. Mereka terlalu baik dalam hal menjamu tamu.
Kami berbincang sebentar di dalam saung bersama Ibu Henni dan diperkenalkan dengan Pak Nurman, seorang guru SD (yang aku baru tau, namanya SD Filial) Kampung Sinar Jaya. Pak Nurman menceritakan sedikit mengenai kondisi desa dan sejarah sekolah SD Fillial (yang aku baru tahu lagi) selama ini dikenal sebagai Sekolah Kandang Hewan. Sekolah yang rasanya tidak layak untuk dijadikan sekolah, namun karena semangat bersekolah adik-adik yang tinggi SD Fillial tetap berdiri. Aku pernah mendengar cerita tentang sekolah kandang yang diceritakan Pak Nurman, tapi aku tidak pernah mengira aku di desa itu sekarang. Selain itu, Pak Nurman juga menceritakan berbagai kekurangan yang dihadapi, termasuk betapa sulitnyanya dia harus mengajar dalam hanya satu ruang kelas untuk mengajar kelas 2 dan kelas 3 sekaligus. Walau hanya digaji dengan upah (kelewat) minimum sekitar 200-400/bulan yang dibayar per tiga bulan, Pak Nurman tidak ada terbersit sekalipun untuk meninggalkan SD Filial.
Teman -teman yang masih bingung mengapa namanya filial ? Definisi Filial sendiri adalah kelas jauh, yaitu kelas yang dibuka di luar sekolah induk diperuntukan untuk siswa-siswi yang tidak tertampung di sekolah tersebut baik karena keterbatasan kursi (ruang kelas) atau jarak tempat tinggal siswa-siswi yang jauh.
Aku terdiam membatu mendengarnya.
Setelah mendengar dengan seksama cerita-cerita dari Pak Nurman, aku sadar desa Sinar Jaya memang memiliki banyak kekurangan. Masalah sekolah, masalah guru dan pendidikan, masalah transportasi, masalah kesehatan, akses jalan hingga masalah MCK (mandi cuci kakus) berkumpul menjadi satu menjelma menjadi masalah yang kompleks yang sangat sulit untuk diurai. Namun bukan berarti tidak dapat diselesaikan. Dengan kontribusi dari pemerintah, perhatian dari masyarakat, penggerak dari berbagai NGO bukan hal yang mustahil untuk dibenahi. Ah, ngomong terasa mudah yah, tapi prakteknya tak pernah semulus dengan harapannya. Tapi percaya solusi tetap ada dan harapan itu tetap menyala.
Mas Dede memberi kabar bahwa para relawan lainnya akhirnya akan segera datang (setelah mendapat cukup signal untuk berkomunikasi walaupun harus menanjak bukit). Aku habiskan waktu sambil berkumpul dan bernyanyi bersama adik-adik di saung sembari menunggu relawan yang lain tiba . Mereka senang sekali berkumpul bersama orang-orang baru sambil mendengar cerita yang belum pernah mereka dengar. Adik-adik lari berhamburan menyambut para relawan yang akhirnya datang satu jam kemudian. Masing-masing sibuk membawakan barang-barang bawaan kakak-kakak relawan. Uniknya, sambil beristirahat kami semua dihibur oleh beberapa adik-adik dengan beberapa tarian tradisional dan tarian dangdut remix yang sedikit bikin gerah karena rasanya kurang cocok untuk seusia mereka. Tapi kami tetap apresiasi kemampuan mereka dengan ikut menyawer dengan melemparkan uang koinan yang menjadi rebutan adik-adik. Kami juga di suguhi nyanyian yang sedikit menyentuh hati yang mengungkapkan bahwa mereka berterimakasih kepada kakak-kakak mahasiswa. Hayo .. para relawan masih ingat tidak yah ?
ahhh senangnya, sabtu sore yang menghangatkan.
Malam pun tiba, selepas sholat magrib adik adik sudah berjejer rapi dengan peci di kepala dan kerudung yang membalut muka. Mereka siap untuk belajar mengaji. Bersama Kak Visya (salah satu relawan) mereka dipandu dengan bacaan surat-surat pendek dan doa-doa. Sangking semangatnya mereka sekalipun lampu yang menggantung di saung mati mendadak suara mereka masih lantang terdengar. Untuk mencairkan suasana selepas mengaji, Kak Merri (salah satu relawan) berinisiatif untuk melanjutkan Kelas Inspirasi dadakan. Anak-anak mulai berkumpul dan berteriak-teriak menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan Kak Merri. Walaupun kita sempat kewalahan ketika aku juga ikut serta mempraktekkan How to look likes a Doctor kami senang mereka bisa menerima materi kami dengan baik. Susah sekali memang mengajar anak-anak apalagi dengan tingkatan kelas yang berbaur semacam ini. Rasanya membayangkan menjadi Pak Nurman harus melakukan itu setiap hari… eeee.. aku kudu strong deh pokoknya
Malam hari setelah adik-adik pulang, kami para relawan, para panitia dan Ibu Henni dan Pak Nurman mengadakan sharing, bertukar cerita dan pendapat mengenai Desa Sinar Jaya. Sedikit menguak sejarah SD Fillial Sinar Jaya, SD ini terbentuk atas rasa keprihatinan seorang kepala sekolah yang iba terhadap kondisi anak didiknya yang selalu dalam kondisi basah dan berlapis lumpur ketika tiba di sekolah. Dahulu, sebelum SD Filial dibangun, para murid harus melewati medan yang sangat sulit hanya untuk ke sekolah. SD Filial dibentuk hasil swadaya masyarakat desa yang dibangun didekat kandang sapi/kerbau sehingga mendapat julukan sekolah kandang hewan. Ironis ya.
berikut gambaran sekolah SD Fillial sebelum di renovasi :Sekolah Filial Desa Sinar Jaya
Melalui para relawan sebelumnya lah, seperti Kak Husni Anam, Kak Fauzan, Kak Sadam, Kak Hasna dan kakak kakak lainnya yang melihat kondisi ini secara langsung, berinisiatif untuk menyebar luaskan berita ini ke bergagai media dengan tujuan agar sekolah ini dapat terekspose dan mendapat bantuan untuk mendirikan bangunan yang lebih layak. Selain itu juga para relawan mengusahakan donasi melalui program Iuran Guru untuk membantu dan mensejahterakan guru seperti Pak Nurman yang rela mengabdikan dirinya sepenuh hati untuk membantu para adik-adik mendapatkan pendidikan yang selayaknya, sekalipun Pak Nurman hanya seorang lulusan SMA namun pengabdian dan tekatnya sungguh luar biasa.
Gambaran SD Filial setelah direnovasi :
― Barack Obama