Kalau ngomongin pemudik di masa pandemik tentu saja stereotipe sudah langsung mengerucut jadi beberapa hal.

“Oh itu loh yang maksa pulang kampung tapi gak kasihan sama orang rumahnya’

“Itu loh yang kabur-kaburan padahal pemerintah sudah larang

Dan berbagai stigma lainnya baik dari media sosial bahkan pemimpin daerah yang menjudgment bahwa kepulangan pemudik jadi ‘terkesan’ aib besar.  Setidaknya itu yang gue rasain kemarin.

Padahal kalau ditarik lebih jauh lagi, sudah ada protokol kesehatan untuk mengantisipasi pemudik apabila sampai di kampung halaman. Dan itu jelas

Itu pun pemudik juga masih merasa dikucilkan dan dihindari karena telah melakukan perjalanan jauh,

Sepertinya kita gak perlu menjelaskan kepada para ‘netizen’ gimana  peliknya pikiran kita selama pandemik ini. Kejadian ini bukan sesuatu yang biasa. Dan itu terasa nyata, paling tidak untuk gue  sebagai anak rantau yang tinggal sendirian di pulau lain, tanpa pernah ada yang tanya ” are you okay?”

Di awal-awal kepulangan gue ke kampung halaman, whaterver you called,  mudik atau pulang kampung itu penuh dengan pertimbangan yang panjang. Kenapa?

Masa kepulangan gue masa pandemik COVID-19 di awal kenaikan kasus adalah pertimbangan kejadian kasus meninggal apabila menyentuh angka 100 korban meninggal gue akan langsung pulang.

Apapun yang terjadi.

Saat itu instansi sudah menyarankan untuk work from home dan menurut gue kondisi ini akan semakin memburuk karena baru awal mula pandemik. Dan lihat, setelah hampir 3 bulan berlangsung angka kematian sudah naik drastis dan penderita positif COVID- 19 mencapai 30 ribu penderita (hingga tulisan blog ini dibuat).

Gue pribadi sedih ketika kepulangan gue di masa pandemik dicap sebagai “Aji mumpung” karena mumpung WFH jadi  bisa dari mana saja kerjanya dan mumpung-mumpung yang lain. Padahal menurut gue yang paling utama dari ini semua adalah kesehatan kita, baik itu kesehatan fisik dan mental. Bukan kah itu alasan kita di WFH-kan?

Kebijakan pemerintah yang tumpang tindih dan tidak selalu satu irama dengan pemerintah daerah menjadikan semuanya semakin sulit. Gue pribadi merasa kebutuhan dasar gue sudah mulai susah dipenuhi.

Contoh sederhananya aja, sebagai anak kost mau gak mau setiap cari makan, dan keperluan lainnya mengharuskan pergi keluar dan tentu saja gue akan selalu dibayangi risiko terpapar. Apakah ada yang menjamin gue tidak terjangkit COVID 19 selama WFH? – tidak ada.

Kalau ada yang sampai bilang ” Makanya siapa suruh merantau ” UH GUE TAMPOL LO!!!

Mau gak mau yah gue lindungi diri sendiri dulu. Belum lagi secara psikis gue mulai berhalusinasi dan memikirkan hal berlebihan selama pandemik, memikirkan kekuatiran keluarga (mungkin karena sendirian), merasa terkurung dalam ruangan sendiri. Dan benar saja, bagi yang merasakan hal yang sama itu benar-benar melelahkan even doing nothing.

Lah wong yang #dirumahaja bersama keluarga aja banyak yang merasa gerah kaan, padahal lo sama keluarga.

Gue juga tidak melihat urgensitas dari instansi gue untuk hadir selalu di kantor karena sebenarnya semua bisa dilakukan secara remote dan tidak mengurangi kinerja apapun, semua tetap sama. Bahkan banyak yang bisa lebih produktif dan fokus bekerja.

Dari pemikiran nan rumit itu akhirnya gue memutuskan untuk pulang ke rumah dengan risiko yang tentu saja gue anggap sebagai konsekuensi. Karena mau bagaimana pun keselamatan dan kesehatan diri krusial bagi gue.

Apakah gue banyak dicerca?

oh tentu saja.

Yang julid? bukan laaaaaagggiiii.

Bahkan karena keputusan  pulang kampung ini gue disanksi pemotongan kinerja dan sanksi disiplin.

Gue rasa itu cukup adil, karena sudah komitmen dengan apa yang gue lakukan dan mengambil konsekuensinya.

Apakah gue kuatir dengan sanksi tersebut?

Awalnya iya, karena gue bukan tipikal orang yang ‘ndableg‘ lah tapi lama-lama gue menyadari satu hal “No one care about your self, so you need to worried about your self first”

Pandemik ini bukan main-main, hanya karena akibat COVID-19 tidak nampak di depan mata bukan berarti bisa disepelekan. Masa iya tunggu korban berjatuhan dulu baru pada sibuk semua.

Sekarang coba lihat apa bedanya dengan yang mudik dan yang stay di tempat. Kasus perdaerah dah sama-sama tinggi. Bukan lagi para pemudik dianggap sebagai penebar virus padahal kenyataanya kedisiplinan diri jadi kunci. Sudah banyak dengar kan persebaran virus COVID-19 ini bahkan diderita mereka yang tidak memiliki riwayat perjalanan?

Jadi kalau masih menyalahkan orang-orang mudik, sepertinya perlu dikoreksi kembali pada diri masing-masing,

Dengan pandemik ini gue juga disadarkan dengan siapa gue berhadapan, berusaha mencari perlindungan di tengah ketidakadilan, dan manusia-manusia sampah lainnya yang hanya memperkeruh suasana.

Apa mereka perlu menjadi gue dulu kali yah baru tahu rasanya?

Sedihnya ketika semua sibuk menyalahkan tanpa bisa memberi solusi perlindungan.

Apalah daya kita hanya anak rantau.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *