Idul adha tahun ini adalah tepat lebih dari dua pekan, Bapak-Ibu telah meninggalkan tanah air untuk beribadah di tanah suci.
Sebenarnya ini bukan kali pertama gue merayakan hari raya Idul Adha berjauhan dari rumah. Sebagai anak rantau yang sudah makan asam garam dunia perantauan, harusnya udah kebal dan dan biasa dengan penyakit anak rantau yang satu ini. Tapi kayaknya penyakit kangen gue sekarang dalam kondisi super akut gak ada obat.
Dan di sinilah gue sekarang, berada di dalam sebuah kamar hotel sendirian, menjauhkan diri dari keramaian orang berlebaran, dan meratapi perasaan (eaaa..).
Ada perasaan senang dan sedih yang datangnya bersamaan. Perasaan aneh beberapa hari ini yang rasanya kosong di dalam hati sana. Sulit dideskripsikan, mirip orang patah hati, tapi gak tahu siapa yang matahin.
Semalam gue mengendarai sepeda motor berkeliling kota, mencoba mengingat kembali dua minggu yang lalu ditemani suara takbiran, seketika itu juga gue mbrebes di balik helm.
Sumpah cupu banget.
Tepat, 17 Agustus 2017 lalu, Bapak dan Ibu dijadwalkan beribadah ke Tanah Suci bersama kloter dari OKU Timur, Sumatera Selatan. Gue bisa melihat betapa antusiasnya Bapak dan Ibu menjelang persiapan keberangkatan waktu itu. Mulai dari persiapan manasik, beli perlengkapan haji, hingga printilannya yang ternyata banyak banget. Gimana gak antusias, Ibadah haji 2017 ini udah dinanti-nanti Bapak Ibu sejak 2010 lalu. Which is sekarang 2017!!!. Antrian kloternya panjang banget!!
Bapak dan Ibu sudah mempunyai tekat bulat sejak dulu memang untuk menyempurnakan rukun islam selama jiwa dan raga masih kuat. Walaupun Bapak dan Ibu sudah pernah ibadah Umrah juga sebelumnya, tapi gak tahu yah. Sepertinya yang sekarang terasa berbeda.
Bapak dan Ibunya yang super antusias mau berangkat, eh anak-anaknya yang kebaperan. Menjelang hari keberangkatan gue dan kakak-kakak gue tiada daya dan upaya untuk tidak melow. Fix, kami lemah.
Secara perspektif pribadi (dulu) gue agak heran mengapa orang yang mau ibadah haji/umrah harus ditangisi, sorry berlebihan. Bukan berarti gak boleh nangis yah. Logikanya gitu, mereka mau ibadah di rumah Allah terbaik di muka bumi ini, harusnya kita banyak bersyukur dong mereka di tempatkan di tanah yang mulia untuk waktu yang relatif lama. You know what i mean. Tapi, kayaknya gue kualat deh gegara mikir gitu. Gue sadar sesadar-sadarnya kenapa orang-orang pada nangis sesenggukan ditinggalin orang berangkat ibadah haji.
Atmosfer orang yang mau berangkat haji itu Masyallah luar biasa.
Sebelum keberangkatan, bapak dan Ibu memberikan wejangan buat kami bertiga, anak anaknya satu persatu. Menurut tata krama orang beribadah haji sih begitu, dianjurkan untuk menyampaikan ‘amanah’ sebelum melepaskan semua kepentingan duniawi di tanah air sehingga nantinya lebih bisa fokus di tanah suci. Pernyataan itu benar, karena kenyataannya hal itu memang harus disampaikan entah itu permasalahan keluarga, urusan pekerjaan, maupun urusan hutang-piutang.
Bapak dan Ibu meminta gue untuk menuliskan doa-doa dalam sebuah buku kecil yang akan selalu dibawa selama ibadah, gue gak minta banyak, gue minta diaminkan untuk menjadi sehat dan bahagia lahir batin dan secepatnya juga bisa dimudahkan mengikuti keduanya. Ada pesan-pesan lain juga yang disampaikan bapak dan ibu.
Sederhana tapi menusuk.
Terakhir gue tanyakan seberapa senang keduanya mau berangkat, sumringah banget ekspresinya walaupun ada rasa kekuatiran yang memang tergurat dari wajah Bapak dan Ibu. Gue mencoba menghibur dengan bilang tidak perlu mencemaskan apapun yang di rumah. Sekalipun nanti di tanah suci pastinya komunikasi menjadi sulit. (Kenyatannya pun sekarang iya). Justru dinikmati kesempatan untuk semakin dekat dengan Allah dan percaya doa-doa kami yang menyertai. Seketika gue menjadi religius sekali kala itu.
Foto ini adalah moment ketika Bapak dan Ibu sedang dipamitkan kepada warga desa untuk meminta doa selama melaksanakan ibadah. Ibu (mengenakan baju bawahan putih) dan bapak di sebelahnya meminta maaf secara pribadi. Bapak yang mudah banget terharu berkali-kali mengusap air matanya dan sukses membuat kami yang melihat berurai air mata.
Gue gak tahu, apakah memang orang melakukan ibadah haji bisa sampai sedrama ini? Kenyataannya iya. Seperti kita akan kehilangan sesuatu tapi kita dipaksa untuk mengiklaskan. Beberapa kali ustad memberikan tausiah untuk membukakan pintu maaf bagi jamaah yang akan diberangkatkan dan mendoakan kebaikan hingga nantinya kembali menjadi haji yang mabrur. Terakhir, lantunan adzan yang menutup agenda sore itu sebelum akhrinya bapak dan Ibu di berangkatkan.
Mata gue udah bengkak duluan.
Gue selalu sempatkan untuk streaming kondisi terakhir ibadah haji, sempat ketar-ketir kalau ada berita kurang mengenakan seputar laporan terakhir ibadah haji. Gue perhatikan gambar manusia-manusia kecil berwarna putih bertaburan, dan di salah satu titik titik kecil itu ada Bapak Ibu yang sedang memenuhi rukun islamnya. Gue adalah salah satu dari ratusan ribu keluarga yang ditinggalkan jamaah Indonesia yang sedang beribadah di sana, perasaan yang sama pun pasti di rasa keluarga lainnya yang sedang ditinggalkan juga.
Idul Adha tahun ini, ketika update-an stories seharian ini teman-teman penuh dengan kebersamaan dengan keluarga, makan menu makanan hari raya, haha-hihi sama keluarga, Percayalah hal itu adalah kenikmatan terbesar yang gak pernah ada harganya.
Idul Adha tahun ini, hanya kekuatan doa yang bisa menguatkan dan mengantarkan kebaikan kepada Bapak dan Ibu di sana. Masih bersisa empat minggu lagi sebelum akhirnya mereka kembali.
Sehat terus yah Bapak dan Ibu
Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.
Amin.
Amin. moga sihat selalu kedua parents nya. and u too ??
Thanks afee for your kindness. Aminnn