Setiap orang pasti pernah atau mungkin sering ketemu stranger.
Banyak yang bilang kalau sudah bertemu jodohnya, berarti sama saja sudah ketemu perfect stranger (katanya). Tapi tahu gak, sebelum bertemu perfect stranger tentu saja ada masa-masa sulit dimana kita harus mengenal para stranger.
I met alot of people in my life, semua sifatnya macam-macam. Ada yang cocok dan nyambung buat ngobrol, ada asik buat jalan tapi gak asik buat ngobrol, ada yang keduanya, tapi ada juga yang tidak sama sekali.
Belakang ini gue terlalu memikirkan hal-hal ini, entah yah, semakin pertambahnya usia, kayaknya dalam mencari teman atau menjalin pertemanan rasanya semakin sulit.
Kalau jaman dulu, jaman-jaman masih muda atau jaman-jaman sekolah, main di halaman belakang rumah aja kita udah dapat temen. Pergi les satu angkot yang sejalan dengan rumah kita sudah dapat temen. Entah kenapa sekarang semuanya berbalik.
Gue merasa gue terlalu insecure terhadap diri gue sendiri. Di satu sisi bagus sih sebenarnya, karena gue menjaga diri gue dari hal-hal yang menurut pandangan gue itu tidak baik. (walaupun belum tentu benar). Tapi disisi lain, sepertinya gue mulai kehilangan esensi dari suatu pertemanan. Sedihnya gitu.
Sifat insecure ini lah yang akhirnya membuat gue kepayahan, hingga mengubah cara pandang gue untuk menjalin suatu pertemanan. Gue mulai membangun karakter-karakter imajinatif pertemanan yang gue harapkan, gue membuat berbagai kriteria-kriteria siapa-siapa saja yang akan berteman dengan gue, gue cenderung sangat selektif dalam memilih pertemanan, khususnya untuk para stranger.
Bermodalkan kriteria-kriteria gue inilah, gue mulai menyeleksi satu persatu orang-orang yang berada di sekitar gue. Apabila tidak penting, atau tidak bermanfaat, gue kesampingkan (Jahat? Iya, gue terlihat sangat jahat, tapi kita harus jujur kan dengan diri kita sendiri). Keegoisan diri gue membunuh karakter gue sendiri. Dan ini berlangsung cukup lama.
But, karma does exist. Ketika sekarang gue sudah mulai menyadari bahwa semua yang gue lakukan adalah tidak baik dan tidak benar. Sepertinya karma itu mulai bermunculan di sekitaran gue. I met alot of stranger, its kinda good sometimes but painful in the end. Sepertinya gue yang sekarang menjadi bagian dari kriteria-kriteria orang yang mencoba kenal dengan gue. Dan gue (hampir) selalu menjadi yang tersisihkan. Well, like i said karma does.
Pertemanan itu manis di awal, selalu sepet di akhir.
Well, gue ngomongin ini secara general yah. Gak bisa dipungkiri, kita (gue terutama) setiap kenalan dengan orang baru selalu berekspektasi, ini anaknya siapa yah, wah anak ini kayaknya potensial nih, bla .. bla ..blaa yang membuat pertemenan yang bakal kita bangun menjadi sangat tidak tulus. We called it azas manfaat.
Jujur deh, yang gak tulus itu gak akan bertahan lama.
Beberapa kali gue ketemu stranger dan menerapkan ekspektasi-ekspektasi itu dan akhirnya bye. Gue dikecewakan dengan sikap gue sendiri, gue manis tapi ada maunya. Gilak, gue so fake abis. Gue mohon maaf yah bagi siapa-siapa saja yang mungkin merasa.
Gak ada yang mudah sih dalam mengubah sesuatu. Sekarang gue mencoba sangat terbuka untuk berkenalan dengan siapa pun, sebanyak apapun tanpa (mencoba) berekspektasi apapun. Sepertinya itu lebih seru, dan more challenging daripada kita sudah tahu siapa mau kita. yah, walaupun beberapa ada yang juga yang aneh karena gue terlalu jujur sampai akhirnya pada menghilang sendiri, ada juga yang stay sampai sekarang, bahkan semakin akrab.
Gue diingatkan oleh seorang teman, bahwa menjadi baik bukan berarti harus mengubah diri sendiri memenuhi keinginan orang lain. Begonya gue dulu, demi bisa menjalin pertemanan itu gue rela disuruh ngapa-ngapain, diminta tolong ini itu gercep (gerak cepet), disuruh ini itu selalu pasang badan.
Karena dalam pikiran gue apa? gue mengharapkan lebih.
Mungkin,ini kali yah yang orang-orang rasakan waktu itu.
Yah, ada seribu macam orang di dunia ini. Jiikalau sekarang mereka masih mengangap kebaikan yang gue lakukan ada maunya, gue berusaha untuk mengiklaskannya. Katanya kan, rezeki itu datangnya darimana saja, jika pertemanan yang baik tidak berasal dari orang yang ada sekarang, siapa tahu setelah ini ada pertemanan yang baik yang memang sudah direncanakan untuk kita.
Living with less expectation is more powerfull. Gue udah merasakan itu. Seperti beberapa waktu kemarin, ketika gue mengurusi buku-buku donor untuk anak-anak di belahan Indonesia lain, gue almost zero expectation. Kalau ada teman yang mau ikutan yah ayok, kalau gak mau yah sudah, ada yang komentar yah gak usah didengerin. Fokus aja dengan apa yang ada aja sekarang. Gue mulai menjalani apa-apa yah karena suka aja, gak ada unsur pengen dilihat ini itu, kelihatan ini itu, sok ini itu etc.
Syukur-syukur kalau gue bisa bermanfaat, kalau tidak yah tidak apa-apa. Rezekinya mungkin tidak ditakdirkan melalui gue. Just it.
Gue sangat mensyukuri apa yang ada di lingkaran kehidupan gue sekarang. Gue menganggapnya sebagai bonus bukan sebagai fasilitas dalam kehidupan gue. Kalau kata orang bilang hidup itu harus bertarget, mungkin gue lebih menyenanginya dengan kata pencapaian. Gue merupaya menggapai pencapaian-pencapaian itu tanpa lupa untuk menikmati segala prosesnya.
Setelah pertambahan usia gue kemarin, gue storng-minded to more enjoying my life. Hidup sehat (insyallah), berusaha banyak menebar manfaat (insyallah), banyak-banyak mikir positif, dan satu lagi yah less expectation. Karena menurut gue pribadi, itu adalah kunci kebahagiaan. (Ini omongan berat banget).
So, yah get a life! your own life!