Some people said alay is a stereotype describing something tacky and cheesy norak or kampungan.
Percaya atau tidak, gak selamanya menjadi alay itu jelek loh.
Kadang kita terlalu vokal untuk mengatakan bahwa orang lain itu alay. Hanya karena, misalnya dia bergaya berlebihan, bermake-up berlebihan, bercanda berlebihan atau hal-hal lainnya yang menurut kita sifatnya kebanyakan. Yang paling disoroti sekarang yah apalagi, kalau bukan Sosial Media.
Gue sadar benar bahwa gue juga masih menjadi salah satu orang yang ‘judging’ banget dengan hal-hal semacam ini yang mengarahkan gue, memberitahukan gue, dan secara tidak langsung menyadarkan gue, bahwa gue adalah alay yang sebenarnya.
Kenapa?
Sadar gak berapa banyak kamu berbicara dalam hati sendiri “ih sumpah geli gue, dia alay banget sih kayak gini aja di post“
“apasih, nyampah banget ig story nya apa apa di post” dan bla-bla-bla
Sumpah itu penyakit hati banget men. Seriously, itu gak sehat.
Menjadi alay dalam sosial media bukan menjadi sesuatu yang buruk menurut gue pribadi. Memang, kadang kita mempunyai taste sendiri dalam bergaul di sosial media, mempunyai stereotype sendiri, mempunyai kelas sendiri dalam kelompokan sosial media. Sehingganya, apa yang tidak merasa sesuai atau tidak sejalan atau kasarnya tidak seelegan & sekelas. Kamu deskripsikan itu sebagai alay.
Beberapa waktu lalu, gue ngobrol-ngobrol sedikit dengan Mbak yang bantu-bantu di rumah tentang media sosial (Gila! berat yah topiknya). Panggil saja namanya, Tiwul. Sebatas yang gue tahu, tiwul hanya menggunakan Facebook untuk bergaul dengan teman-temannya, tetangga-tetangganya, dan rekan sejawatnya. Terlihat jelas Tiwul masih menjadikan Facebook sebagai medsos favoritnya karena hampir tiap waktu senggang doski selalu cek-cek feednya. Begitu juga ketika ngobrol bareng gue.
Tiwul tahu eksistensinya di dunia per-medsosan dianggapnya penting, karena selain hiburan, facebook dijadikan sebagai wadah menyalurkan kealay-annya. Sorry wul. Pertama gue berpikir begitu, apa-apa dia share, lagi dimana dia share, bahkan chatingan dengan pacarnya aja dia capture kemudian dia share. Sambil nunjukin komentar dari teman-temannya. Annoying banget kan.
Pasti kamu juga sering menemukan orang-orang macam Tiwul?!
its oke to be alay in social media.
Belajar dari Tiwul, beberapa hari ini gue berpikir kayaknya memang gue lah yang sebenarnya alay. Yah, that is mean, gue alay sebagai manusia terlalu mengkotak-kotakan seseorang hanya berdasarkan apa yang dia posting, apa yang dia buat di sosmednya, dan apa yang ingin disampaikan lewat sos-mednya. Hal ini sering kejadian bagi gue sendiri terutama yang saling kenal, tapi gak pernah/jarang ketemu di dunia nyata.
Ngeliat timelinenya, isi instagramnya, feed Facebooknya. Kemudian skip.
Bagi gue, apa yang dilakukan Tiwul itu alay banget. Tapi menurut Tiwul, totally fine. Gue lupa satu hal, bahwa sosial media adalah tempat berekspresi. Harusnya gue mengapresiasi kemajuan Tiwul sebagai anak daerah yang tinggal jauh dari kota, tapi masih dapat terpapar kemajuan teknologi. Kadang gue lupa, bahwa kemampuan Tiwul adalah salah satu soft skill yang memang dia dapat secara otodidak yang mungkin saja dapat membantu dia di masa depan nanti. Mungkin yah.
Gue yang sebenarnya alay.
Gue tahu lebih banyak hal ketimbang Tiwul, tapi terlalu enggan untuk membantu Tiwul menggunakan media sosialnya dengan baik biar gak kebabablasan mengingat usia Tiwul masih belasan. Terlalu canggung untuk mengkomentari padahal ingin hanya karena masalah gengsi, out of my bussiness dan medsos sebagai urusan personal.
Alay seperti apa yang menurut kamu baik di dunia med-sos?
Gue juga sering dibilang alay sama teman-teman terdekat gue sendiri ketika gue menggunakan medsos. Entah apa itu soal yang gue posting, gue tulis atau mungkin tulisan ini bisa dianggap kacangan dan alay, mirip Tiwul dalam versi yang berbeda. Tapi who’s care.
Gue tidak pernah mempermasalahkan menjadi alay sebagai suatu kesalahan selama itu tidak menggangu kepentingan orang lain. Gue share apa yang gue suka, apa yang ingin dan pingin gue bagi, atau sekedar menuliskan sesuatu yang siapa tahu bermanfaat bagi orang lain.
Tapi seperti apa yang yang gue bilang di atas, banyak orang juga yang masih se-stereotype gue juga dan mengkotak-kotakan orang dari apa yang dia posting. Its fine. Satu orang mengganggap kita alay, masih ada 10 orang lainnya yang mungkin menganggap kita sebagai inspirator. Kita tidak dilahirkan untuk menyenangkan semua orang toh! Karena sesungguhnya dalam hati kecil mereka ingin seperti kita yang bisa alay tanpa perlu musingin pendapat orang lain.
Gue percaya bahwa kealayan itu bersumber dari inspirasi yang datangnya berbentuk karya. Ibarat Tiwul yang mungkin belum tahu banyak soal dunia Facebook, semakin rutin dia menggunakannya, pasti dia tahu sendiri mana yang baik dan tidak untuk dibagikan ke teman-temannya. Postingan Tiwul gue anggap alay banget, bisa jadi bagi teman-temannya bisa menginspirasi untuk tidak gagap dengan teknologi. Minimal, tahu lah daripada tidak sama sekali.
Bagikan selama itu baik, syukur bisa bermanfaat minimal bagi diri sendiri kalau belum bisa bagi orang banyak. Karena untuk menjadi satu karya yang cantik pasti butuh ribuan kealay-an yang kita anggap sebagai ‘trial and error‘.
Siapa tahu, kealayan itu mengarahkan kamu kesuksesan yang lebih besar. Udah banyak loh contohnya.
Kalau ketemu orang yang alay menurut kamu di medsos? yaudah kalau gak suka tinggal di skip aja. Kalau itu teman dekat kamu sih, ada baiknya diberitahu yah kalau kalau kealayannya sudah mengarah ke ranah mengganggu ketentraman orang lain. hahaha!
Gimana pun juga, walaupun medsos adalah personal tapi tetap punya aturan main. ada manner-nya.
Wah, jadi kepikiran Tiwul nge-post apa lagi yah?!